Telset.id, Jakarta – Pemerintah Amerika Serikat melalui CHIPS Act terus mendorong pengembangan industri semikonduktor dalam negeri. Intel menjadi penerima manfaat terbesar dari program inestasi Pemerintah AS ini.
Meski demikian, investasi yang awalnya direncanakan sebesar USD8,5 miliar (sekitar Rp132 triliun) telah direvisi menjadi USD7,85 miliar (sekitar Rp122 triliun), sebagian besar karena faktor-faktor yang berkaitan dengan proyek kontrak militer.
Bukan sebuah rahasia lagi bahwa Intel telah menghadapi sejumlah tantangan besar dalam beberapa bulan terakhir. Pada Agustus, perusahaan mengumumkan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 15.000 orang dan mencatat kerugian kuartalan terbesar pada bulan berikutnya.
BACA JUGA:
- Kewalahan Hadapi Arm, Intel dan AMD Kini Kerja Sama Perkuat x86!
- Proses Produksi Prosesor Intel Generasi 15 Alami Kegagalan
Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran dari beberapa pejabat pemerintah mengenai kemampuan Intel untuk memenuhi target ambisius yang diusung CHIPS Act.
Namun, Intel tetap menunjukkan komitmennya dengan rencana investasi sebesar $90 miliar (sekitar Rp1.400 triliun) di Amerika Serikat hingga akhir dekade ini. Proyek ini mencakup pengembangan fasilitas di empat negara bagian: Arizona, Oregon, Ohio, dan New Mexico, dengan total nilai investasi mencapai USD100 miliar (sekitar Rp1.550 triliun) pada akhir 2030.
Sementara itu, CHIPS Act menjadi salah satu kebijakan andalan Pemerintah AS untuk mengurangi ketergantungan pada impor chip dari luar negeri, khususnya Taiwan. Dengan semakin meningkatnya ketegangan geopolitik di wilayah tersebut, termasuk ancaman dari Tiongkok terhadap Taiwan, pemerintahan Biden menganggap penting untuk memperkuat produksi chip domestik demi menjaga stabilitas rantai pasokan teknologi.
Sebagai satu-satunya perusahaan pembuat chip logika berbasis di AS, Intel memegang peran strategis. Namun, Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo dilaporkan menghadapi tantangan dalam meyakinkan perusahaan teknologi besar seperti Apple, NVIDIA, dan AMD untuk berkolaborasi dengan Intel.
Salah satu alasannya adalah teknologi manufaktur chip Intel yang dinilai kurang canggih dibandingkan Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), produsen chip terkemuka dunia.
Meskipun menghadapi berbagai hambatan, Intel tetap menjadi pusat perhatian dalam strategi teknologi AS. Investasi pemerintah diharapkan dapat mendorong penciptaan lebih dari 125.000 lapangan pekerjaan di 20 negara bagian, serta memacu inovasi yang dapat meningkatkan daya saing Amerika Serikat dalam pasar teknologi global.
Selain itu, keberhasilan Intel dalam memenuhi target CHIPS Act akan menjadi sinyal penting bagi mitra global dan pesaing bahwa Amerika Serikat serius dalam membangun kemandirian di sektor semikonduktor.
Hal ini tidak hanya akan memperkuat posisi Intel di industri, tetapi juga memberikan dampak positif pada stabilitas ekonomi dan keamanan nasional.
BACA JUGA:
- SpaceX Digugat Pemerintah AS karena Perekrutan yang Diskriminatif
- Rugi Rp25 T, Intel Bakal PHK Lebih dari 15.000 Karyawan
Dengan langkah-langkah strategis ini, masa depan industri chip domestik AS tampak lebih menjanjikan, dan Intel berpotensi menjadi salah satu pilar utama dalam transformasi ini. Walau begitu perlu dicatat bahwa Pemerintah AS telah mengurangi dana investasi ke Intel. [FY/IF]