Telset.id – Polemik interkoneksi yang melibatkan lima operator seluler tanah air tak kunjung menemukan kata sepakat. Bahkan sampai batas akhir yang telah ditentukan pada 1 September ini.
Menanggapi hal tersebut, Merza Fachys, Direktur Utama Smartfren, mengatakan bahwa Smartfren akan tetap menurunkan biaya interkoneksi sesuai dengan surat Edaran (SE) No. 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016 yang ditandatangani oleh Plt. Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Geryantika Kurnia dan dirilis pada 2 Agustus 2016 lalu.
Menurutnya, besaran harga interkoneksi sejatinya ditentukan oleh kesepakatan bersama antar operator seluler dan dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama (PKS) yang setiap dua tahun sekali di review secara bersama-sama.
“Ini bukan hal baru. Setiap dua tahun operator duduk bersama untuk menentukan harga interkoneksi. Metode perhitungannya mengacu pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika no 08/2006. Jika terjadi perselisihan, maka akan dimediasi oleh BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia),” jelas Merza.
Masalah muncul ketika BRTI, sesuai formulasi perhitungan yang telah ditentukan, “menemukan” angka Rp 204 untuk harga interkoneksi atau turun dari harga interkoneksi sebelumnya yaitu Rp 250. Angka tersebut dinilai merugikan operator terbesar di Indonesia dan berpotensi merugikan keuangan negara.
Menanggapi hal tersebut, Merza berpendapat bahwa operator seluler harusnya lebih terbuka dalam menghitung besaran biaya interkoneksi.
“Peraturan Menteri tentang Interkoneksi mengatur bagaimana cara menghitung biaya interkoneksi. Apakah betul kita mengikuti itu semua sama-sama. Itu yang harus dibuktikan,” kata Merza saat ditemui di perhelatan Communic Indonesia, Jakarta International Expo Kemayoran.
Menurut Merza, saat ini BRTI menemukan angka Rp 204 untuk harga interkoneksi Telkom dan Telkomsel.
“Jadi bukan tentang hitung-hitungan rugi merugikan negara. Mari kita buktikan Rp 286 (harga interkoneksi menurut perhitungan Telkomsel) yang betulkah atau Rp 204 yang betulkah,” jelas Merza.
Sekali lagi Merza menegaskan bahwa operator seluler memang harus lebih terbuka tentang komponen perhitungan biaya interkoneksi.
“Yang belum terbuka adalah apakah betul pembebanan biaya yang menghasilkan Rp 286 tadi adalah the real cost recovery untuk jaringan voice? Selain itu, semua orang boleh bilang bahwa CAPEX masing-masing operator berbeda. Kok bisa? Ini semua yang harus kita buka. Jangan sampai hal hal yang tidak sesuai dengan cara perhitungan interkoneksi menurut Peraturan Menteri tahun 2006 dibebankan kepada kami,” terang Merza.
Sementara saat disinggung perihal keberpihakan terhadap kepentingan asing, Merza berpendapat bahwa ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan asing non asing.
“Ini baru kita bicara Are We Calculating The Real Cost? Jangan kami yang net payer ini harus membayar untuk men-subsidi, kami ingin yang kami bayar adalah the real cost yang terjadi. Jadi berapapun angka yang ditetapkan sebenarnya pengaruhnya ke kami, karena kami Net Payer, kami yang bayar terus ke mereka. Jadi jangan kami dibuat lebih rugi lagi,” pungkas Merza.