KPPU Ungkap Tiga Masalah di PP Postelsiar Soal Persaingan Usaha

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id, Jakarta –  Terbitnya PP Postelsiar juga mendapat perhatian dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Disebutkan, ada tiga kendala di PP Postelsiar yang berpotensi menimbulkan masalah persaingan usaha, khususnya bagi pelaku industri ICT.

Guntur Syahputra Saragih, Wakil Ketua KPPU mengaku mengapresiasi payung hukum yang diterbitkan pemerintah tersebut, karena setidaknya 7 kali menekankan praktik persaingan usaha yang sehat dalam pasal-pasalnya.

Namun, Guntur menyebut ada beberapa catatan yang harus diperhatikan dari PP Postelsiar agar pelaku industri telekomunikasi benar-benar bisa melakukan persaingan bisnis yang sehat.

{Baca juga: PP Postelsiar Untungkan OTT, Kapan Industri ICT Bisa Sehat?}

Pertama, terkait Pasal 30 ayat 2 PP Postelsiar yang menyebutkan Menteri dapat menetapkan tarif batas atas dan atau tarif batas bawah Penyelenggaraan Telekomunikasi dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha yang sehat.

Untungnya di ayat ini disebutkan dapat menetapkan tarif. Tetapi apakah benar-benar sudah terjadi kegagalan pasar sehingga regulator harus turun tangan menetapkan tarif?

“Kami berharap penetapan tarif ini harus melihat sudut pandang masyarakat, bukan hanya dari sisi menjaga keberlangsungan operator yang saling berkompetisi,” kata Guntur di acara webinar “Menuju Kompetisi yang Sehat di Industri ICT Pasca PP Postelsiar”, Rabu (24/3/2021)..

Kedua, terkait belum terpenuhinya kondisi kesetaraan level of playing field antara operator dengan OTT asing.

Pasal 15 PP Postelsiar menyatakan Pelaku Usaha baik nasional maupun asing yang menjalankan kegiatan usaha melalui internet kepada pengguna di wilayah Indonesia dalam melakukan kerja sama usahanya dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi dilaksanakan berdasarkan prinsip adil, wajar, dan nondiskriminatif, serta menjaga kualitas layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

{Baca juga: Carrier Billing Bisa Jadi Solusi Polemik Operator dan OTT, Tapi…}

“Kasarnya, sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU hanya bisa melakukan penindakan terhadap perusahaan yang badan hukumnya ada di dalam negeri,” kata Guntur.

“Para OTT mungkin saja potensi pelanggaran persaingan terjadi misalnya saja urusan perpajakan. Tetapi KPPU sulit untuk melihat hal ini karena OTT ada di luar negeri, kami tidak punya wewenang penindakan extra territory,” sambungnya.

Lalu kendala yang ketiga, terkait pengalihan frekuensi antar badan usaha yang tidak perlu lagi dikembalikan ke negara juga mendapat sorotan KPPU.

“Setiap merger perusahaan itu perlu menyampaikan notifikasi ke KPPU yang akan melihat dampaknya dari sisi persaingan usaha. Namun karena UU nya menyebutkan pemberian notifikasi dilakukan setelah merger terjadi, bukan pra-merger maka kalau KPPU menolak merger tersebut akan menjadi masalah tersendiri,” jelasnya.

Sebelumnya, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala juga menyoroti beberapa kelemahan PP Postelsiar terhadap pengaturan bisnis OTT asing.

“Tidak disinggung mengenai pajak digital, yang justru menguntungkan OTT dalam menjalankan usahanya di pasar Indonesia yang besar. Negara jadi rugi, karena devisa mengalir keluar,” tegas Kamilov.

{Baca juga: BRTI Dibubarkan, Industri Telekomunikasi akan Jadi Monopolistik}

Menurut Kamilov, pemerintah atau regulator seharusnya konsisten untuk menyelamatkan industri di dalam negeri dan juga konsumennya.

“Dengan tidak adanya BRTI, Kominfo sebagai penguasa tunggal tidak bisa otoriter. Harus dibangun hubungan dengan asosiasi-asosiasi telekomunikasi yang peduli terhadap perkembangan industri dan perlindungan masyarakat,” tegasnya. [HBS]

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini


ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI