KPPU Endus Praktik Kongkalikong Penetapan Tarif Seluler

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id, Jakarta – Selain terindikasi kartel karena membentuk usaha patungan bernama PT One Indonesia Synergy, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga mencium adanya aroma persaingan usaha tidak sehat yang dijalankan Indosat Ooredoo dan XL Axiata dalam penetapan tarif seluler.

KPPU melihat adanya indikasi persaingan usaha yang tidak sehat dari dua operator seluler, yakni Indosat dan XL, setelah mencium gelagat price fixing dalam penetapan tarif telepon lintas operator (off-net) di luar Jawa.

Ketua KPPU, Muhammad Syarkawi Rauf menjelaskan, bahwa dugaan praktik price fixing dari Indosat dapat dilihat saat anak usaha Ooredoo Group itu menggelar program telepon Rp 1 per detik (Rp 60 per menit) untuk panggilan off-net pada pertengahan 2016 lalu.

Langkah Indosat itu kemudian diikuti oleh XL Axiata yang mengeluarkan program yang mirip-mirip, yakni Rp 59 per menit untuk panggilan telepon ke operator lain (off-net) pada pekan lalu.

Kedua operator tersebut (Indosat dan XL) tetap menjalankan program pemasaran itu, padahal penetapan tentang tarif baru interkoneksi sedang ditangguhkan. Dari situlah KPPU mencium adanya aroma persaingan usaha tidak sehat.

“Kami akan panggil Indosat dan XL karena ada tiga indikasi dugaan kartel, yakni price fixing, market allocation, dan output restriction,” ujar Syarkawi saat dihubungi Telset.id, Senin (10/10/2016).

[Baca juga: Selidiki Dugaan Kartel, KPPU Panggil XL dan Indosat]

Lebih jauh Syarkawi menjelaskan, bahwa khusus untuk price fixing atau kesepakatan penetapan harga, pihaknya menilai indikasi tersebut mulai nampak sejak mencuatnya polemik tentang revisi PP No. 52 dan 53 Tahun 2000, terutama soal kisruh interkoneksi dan network sharing.

Dia mengungkapkan, KPPU akan mendalami lagi soal polemik tarif off-net dalam masalah interkoneksi. Karena, menurutnya, ada tiga komponen biaya dalam skema tarif, dan tiap operator berbeda-beda pengeluarannya untuk bangun jaringan.

“Kami akan dalami lagi masalah interkoneksi ini. Karena ada (operator) yang patuh, ada yang tidak, meskipun lisensinya sama-sama nasional,” tegasnya.

Syarkawi menilai, pemerintah harusnya bisa menerapkan reward and punishment bagi seluruh operator sesuai dengan lisensi yang dimilikinya. Jika punya lisensi seluler, operator harusnya wajib membangun jaringan secara nasional.

“Harusnya ada reward and punishment untuk yang patuh dan tidak patuh. Harus dihitung juga mekanisme kompensasi bagi operator yang patuh membangun jaringan, misalnya Telkomsel,” tandasnya.

[Baca juga: Diduga Kartel, XL dan Indosat Dilaporkan ke KPPU]

Jika melihat skema tarif yang ditawarkan Indosat dan XL, maka dapat dipastikan ada subsidi yang diberikan, karena biaya cost recovery XL adalah Rp 65 per menit dan Indosat Rp 86 per menit, untuk panggilan lintas operator atau off-net.

Sedangkan cost recovery Telkom dan Telkomsel sebesar Rp 285 per menit, Smartfren Telecom Rp 100 per menit dan Hutchison 3 Indonesia (Tri) sebesar Rp 120 per menit.

Sementara dilihat dari sisi pangsa pasar seluler nasional, Telkomsel saat ini menguasai 45% pasar, kemudian diikuti Indosat dengan 21,6%, Tri 14,4%, dan XL 14%. Sedangkan untuk pasar di luar Jawa, lebih dari 80% dikuasai Telkomsel, sementara operator pesaing terdekatnya, Indosat dan XL, menguasai tak lebih dari 5% pangsa pasar.[HBS]

ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI