Telset.id – Bayangkan jika besok pagi, para influencer kesehatan favorit Anda tiba-tiba menghilang dari layar ponsel. Atau konten finansial yang biasa Anda konsumsi harus melalui “pemeriksaan kelayakan” terlebih dahulu. Ini bukan skenario fiksi—Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sedang serius mengkaji kebijakan yang bisa mengubah lanskap konten digital Indonesia selamanya.
Langkah ini diambil menyusul terobosan regulasi pemerintah China yang mewajibkan pemengaruh memiliki sertifikasi akademik sebelum membahas topik profesional tertentu. Seperti apa implikasinya bagi industri kreator konten yang sedang tumbuh pesat di Indonesia? Apakah ini solusi tepat untuk memerangi misinformasi, atau justru bentuk pembatasan baru di ruang digital?
Bonifasius Wahyu Pudjianto, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kemkomdigi, mengungkapkan bahwa pembahasan masih berlangsung intensif di tingkat internal. “Informasi ini masih baru, kami masih kaji dulu memang. Kami ada grup WA, kami lagi bahas ‘Gimana ini isu ini? Ada negara udah mengeluarkan kebijakan baru nih’,” ujarnya di Kantor Kemkomdigi, Jakarta Pusat, Kamis (30/10).
Pendekatan Komdigi terlihat hati-hati namun penuh pertimbangan. Mereka tak ingin terburu-buru meniru kebijakan China, tetapi juga tak bisa mengabaikan potensi manfaatnya. “Kita perlu menjaga, tapi jangan sampai terlalu mengekang. Kompetensi memang diperlukan, jangan sampai muncul tadi justru mereka yang membuat konten yang salah,” tegas Bonifasius.
Belajar dari Negeri Tirai Bambu
China telah melangkah lebih dulu dengan kebijakan yang mulai efektif 10 Oktober 2025. Aturan yang dikeluarkan Administrasi Radio dan Televisi Negara (NRTA) bersama Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata China ini mewajibkan kreator konten di bidang kedokteran, hukum, keuangan, pendidikan, dan kesehatan untuk memiliki ijazah atau sertifikasi akademik resmi.
Platform digital besar seperti Douyin (TikTok versi China), Bilibili, dan Weibo kini bertanggung jawab memverifikasi kualifikasi akademik para kreator sebelum mengizinkan mereka memublikasikan konten profesional. Sanksi bagi pelanggar tak main-main: denda hingga 100.000 yuan (sekitar Rp230 juta) atau penutupan akun.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya nasional China menjaga integritas informasi daring dan mencegah penyebaran hoaks di sektor-sektor yang dinilai paling rentan. Pertanyaannya: apakah pendekatan yang sama cocok untuk Indonesia?
Baca Juga:
Pelajaran dari Australia dan Proses Dialog Terbuka
Ini bukan pertama kalinya Komdigi belajar dari kebijakan negara lain. Bonifasius mencontohkan bagaimana Indonesia mengadopsi pembelajaran dari Australia yang membatasi penggunaan media sosial bagi anak di bawah umur. Kebijakan itu kemudian mendorong penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).
Pendekatan dialogis menjadi kunci dalam proses pengkajian ini. “Kita harus mendengar

                                    