Telset.id, Jakarta – Industri telekomunikasi di Indonesia telah berkembang sangat cepat dan membawa multiplier effect yang sangat besar dan luas. Di luar pengaruhnya pada dunia industri, tidak bisa dikesampingkan juga realitas mayoritas penduduk indonesia dan dunia sudah sangat tergantung pada telepon seluler dalam kehidupan sehari-harinya.
Untuk itu, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berencana akan menerapkan aturan berbagi jaringan (network sharing) untuk palaku industri telekomunikasi di Indonesia. Tujuannya, untuk meningkatkan efisiensi dan adanya pemerataan pembangunan infrastrktur telekomunikasi di Indonesia.
[Baca juga : Sinergi Industri Telko Kunci Sukses Ekonomi Digital Indonesia]
Namun pendapat itu dibantah oleh peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Mohammad Reza Hafiz A, yang mengatakan pendapat Kominfo itu salah. Karena menurutnya, justru dengan adanya aturan network sharing akan membuat pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia menjadi mandek.
Reza menilai, idealnya aturan berbagi jaringan tidak dilakukan secara umum. Hanya diberlakukan di daerah terpencil yang belum terlayani jaringan selular. Sehingga tujuan pemerintah untuk memberikan layanan yang merata kepada masyarakat yang belum memiliki akses telekomunikasi (unserved) dapat terwujud dan dapat memperkecil jurang ketimpangan (inequality).
“Justru dengan aturan berbagi jaringan yang digagas Kominfo, akan membuat operator hanya membangun di daerah-daerah yang menguntungkan saja. Padahal filosofi sesungguhnya dari berbagi jaringan adalah sharing cost di daerah yang belum terjangkau sarana telekomunikasi seperti di daerah terluar dan terujung wilayah Indonesia,” terang Reza di Jakarta baru-baru ini.
Reza memberikan contoh seperti di Swedia, Denmark, Finlandia, Saudi Arabia, Brazil, Chili dan Malaysia. Penerapan berbagi jaringan telekomunikasi di negara-negara tersebut hanya dilakukan di wilayah rural dan remote area yang belum terjangkau sarana dan prasarana telekomunikasi karena letak geografis daerah tersebut.
Selain itu, dapat membantu daerah-daerah pedalaman, terpencil, dan terluar yang sulit dijangkau, tidak layak secara bisnis, dan memerlukan biaya yang besar sehingga pencapaian efisiensi berkeadilan dari sisi belanja modal (Capex) dan belanja operasional (Opex).
Selain itu Reza menilai pemberlakuan berbagi jaringan tanpa adanya kewajiban pembangunan infrastruktur dikhawatirkan hanya akan menguntungkan operator yang selama ini tidak memenuhi kewajiban pembangunan. Sehingga jika pemerintah tetap memaksakan berbagi jaringan ini berjalan, maka dampak yang terjadi adalah perluasan coverage dan kualitas pelayanan menjadi tidak optimal.
“Hal itu disebabkan operator cenderung memilih untuk sewa infrastruktur yang sudah ada, dibanding membangun di wilayah baru,” tutur Reza.
Reza juga menilai berbagi jaringan selular ini juga berpotensi menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, seperti yang tertuang dalam Undang-undang No 5 Tahun 1999. Ini disebabkan kegiatan berbagi jaringan sangat potensial disalahgunakan oleh operator untuk mengendalikan pasar, baik melalui harga maupun pangsa pasar. Kemungkinan ini didasarkan pada struktur pasar telekomunikasi Indonesia yang lebih condong kepada oligopoli.
“Sehingga jika ada perilaku yang bertentangan dengan unsur-unsur anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maka berbagi jaringan yang dicanangkan Kominfo ini dikhawatirkan dapat merugikan konsumen,” ujarnya.
[Baca juga : Network Sharing Sebagai Solusi Percepat Industri Digital]
Sementara itu, M. Syarkawi Rauf, Ketua KPPU, menyoroti dari sisi kebijakan, dimana ia mengatakan pihaknya concern untuk terus mendorong pemerintah melakukan perubahan dan revisi tarif interkoneksi, tarif off-net, frekuensi dan network sharing. Ia mengatakan, saat ini KPPU juga sedang melakukan kajian terhadap adanya indikasi monopoli jaringan pita lebar.
Menurut Syarkawi, pihaknya sedang bergerak dan melakukan kajian mendalam terhadap indikasi penguasan dan kecenderungan adanya monopoli jaringan pita lebar oleh salah satu operator selular.
“Jika hal itu terjadi, kami tak segan-segan melakukan penegakan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku,” kata Syarkawi.
Hal senada disampaikan Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik, yang mengatakan bahwa sebagian besar kpbu atas pembangunan infrastrukur telekomunikasi di luar pulau Jawa sekitar 80 persen dilakukan oleh satu operator telekomunikasi.
Pasar telekomunikasi seluler Indonesia saat ini dikuasai (market leader) oleh satu operator, yakni Telkomsel (sekitar 37 persen pangsa pasar). Di bawah Telkomsel terdapat dua operator, yakni Indosat Ooredoo (23 persen) dan XL Axiata (14 persen).
Di bawah tiga operator tersebut terdapat empat operator lagi, seperti Ceria, 3 Hutchinson, Smartfren, dan Bakrie Telecom. Struktur pasar yang demikian mengakibatkan pasar telekomunikasi seluler bersifat oligopoli.
“Struktur pasar demikian diiringi adanya keengganan untuk berbagi kapasitas (sharing capacity) dengan operator telekomunikasi lain, selain operator telekomunikasi dalam grupnya,” ujarnya.
Oleh karenanya, lanjut Agus, dalam struktur pasar yang oligopolis, dibutuhkan regulasi yang harus dapat mengatur persaingan usaha yang memastikan peningkatan manfaat bagi para pemangku kepentingannya. Bagi masyarakat sebagai konsumen kepentingan terutamanya adalah tarif yang lebih murah dan layanan yang lebih baik.
Bagi pemerintah, kepentingan utamanya adalah peningkatan peran industri telekomunikasi, terutama untuk kesatuan wilayah dan perekonomian. Bagi industri telekomunikasi, kepentingan utama adalah pengaturan persaingan usaha yang sehat, efisiensi industri, mendorong inovasi dan investasi, serta peningkatan kualitas dan return yang lebih baik.
“Perubahan atas peraturan pemerintah nomor 52 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP 53/ 2000 tentang penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang memungkinkan berjalannya sharing kapasitas sangat diperlukan. Kedua peraturan tersebut tidak memadai lagi dengan perkembangan saat ini,” tegas Agus. (MS/HBS)