Telset.id, Jakarta – China dan Amerika Serikat (AS), dua raksasa ekonomi dunia, bakal mendominasi penelitian dan pengembangan global di bidang kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Siapa akan menjadi pemenangnya? Credit Suisse menyebut China bakal unggul atas AS.
Prediksi itu sebagian besar didasarkan kepada satu alasan: China tidak memiliki hukum serius tentang perlindungan data. Ketiadaan hukum serius membuat perusahaan-perusahaan di China mempunyai cukup banyak kebebasan untuk mengembangkan teknologi.
Dong Tao, Wakil Ketua Greater China Credit Suisse Private Banking Asia Pasifik, menyatakan, saat ini China jauh meninggalkan AS dalam setiap jenis pengembangan AI, baik di sektor perangkat keras, penelitian dan algoritma, maupun komersialisasi industri. Tao mengutip data tersebut dari laporan Oxford University, baru-baru ini.
“Saya tidak mengatakan perusahaan China lebih baik daripada perusahaan AS. Saya tidak mengatakan insinyur China lebih baik daripada insinyur AS. Apa yang akan membuat China menjadi besar dalam pengembangan AI adalah ketiadaan hukum serius yang melindungi privasi data,” ujar Tao pada acara Credit Suisse Asian Investment Conference di Hong Kong seperti dilaporkan CNBC.
Pada kesempatan itu, Tao melanjutkan, “Apilkasi pesan WeChat buatan China mampu memproses tujuh miliar foto sehari. Hal itu merupakan sumber data besar yang masif. Mereka bakal jadi memiliki keunggulan dalam pengenalan gambar.”
Komentar Tao tersebut disampaikan di tengah peningkatan reaksi hukum atas masalah data dan privasi di beberapa negara. Facebook, misalnya, telah berada di bawah pengawasan seiring kasus dugaan pencurian data 50 juta pengguna oleh Cambridge Analytica.
Selain AI, perlombaan untuk mengembangkan jaringan 5G juga sedang berlangsung antara China, AS, dan negara-negara maju di Eropa. Analis memperkirakan, perlombaan itu bakal dimenangkan oleh China.
Fragmentasi peraturan di 28 negara anggota Uni Eropa, kurangnya investasi jaringan bergerak yang berasal dari bisnis nan lemah, serta perdebatan mengenai alokasi gelombang radio yang dikenal sebagai spektrum adalah alasannya.
“Eropa sangat tertinggal dari China dan AS dalam hal komitmen dan penerapan 5G. Namun, AS pun tak cukup tangguh menghadapi perlawanan China,” kata Ben Wood, kepala penelitian CCS Insight, kepada CNBC dalam sebuah wawancara, baru-baru ini.
Ia melanjutkan, di AS, persaingan sengit terjadi antar pemain di bisnis 5G. Sementara di China, sama sekali tidak ada situasi seperti itu. “Mereka (China) terpusat sehingga benar-benar bisa menjadi pemimpin dalam hal pengadaan jaringan 5G,” ujarnya. [SN/IF]