Penyelundupan ponsel illegal berkembang dari berbagai modus melalui pelabuhan-pelabuhan kecil (jalur tikus), pelabuhan besar, baik dalam bentuk komponen maupun ponsel utuh. Banyaknya ponsel BM yang beredar di pasaran, karena kurangnya pengawasan dan ketegasan dari aparat penegak hukum.
Telset.id – Indonesia masih menjadi pasar yang seksi bagi para produsen ponsel, karena memiliki potensi pasar yang sangat besar. Sayangnya, ceruk pasar yang menggiurkan itu tak hanya dinikmati para penjual ponsel legal, tapi juga menyuburkan penjualanan ponsel di pasar gelap atau yang lebih dikenal dengan sebutan ponsel “black market” (BM).
Jika kita melihat data yang dirilis International Data Corporation (IDC) Quarterly Mobile Phone Tracker, terjadi lonjakan pengiriman smartphone ke Indonesia hingga mencapai 22% pada kuartal kedua 2018.
Selain itu, laporan IDC Quarterly Mobile Phone Tracker juga mencatat pengiriman smartphone di Indonesia sudah mencapai 9,4 juta unit di kuartal kedua tahun ini.
Besarnya jumlah pengiriman bisa diartikan bahwa Indonesia masih menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi para pabrikan ponsel. Masyarakat Indonesia dinilai memiliki minat yang tinggi terhadap ponsel pintar terbaru.
Tetapi tingginya minat konsumen di Indonesia pada ponsel keluaran terbaru juga melahirkan fenomena yang selama ini belum terpecahkan. Yaitu penjualan ponsel tanpa garansi yang masuk melalui jalur tidak resmi atau biasa dikenal dengan ponsel black market (BM).
Ponsel BM adalah ponsel yang beredar tidak resmi, tanpa memiliki garansi dari distributor resmi yang ditunjuk oleh perusahaan induk atau produsen ponsel. Di Indonesia ada beberapa distributor resmi yang dikenal, seperti Teletama Artha Mandiri (TAM) atau Erajaya, Trikomsel Surya Citra Multimedia (SCM), PT. Bintang Cemerlang, PT Bangun Persada Tata Makmur (BPTM), dan Setia Utama Distrindo (SUD).
Para distributor resmi itu ditunjuk oleh vendor utama (produsen ponsel) untuk mendistribusikan ponsel di Indonesia. Sayangnya, distributor tersebut belum menjamin bahwa Indonesia bebas dari maraknya peredaran ponsel BM.
Masalah peredaran ponsel BM di Indonesia sebenarnya bukan berita baru. Bahkan, sejak industri ponsel masih dikuasai Nokia pada dua dekade yang lalu, peredaran ponsel BM sudah ada. Bisnis ini memang sangat menggiurkan, karena para penjual ponsel BM bisa mengeruk untung besar.
Secara fisik, ponsel BM sebenarnya tidak ada bedanya dengan “ponsel legal”, karena ponsel BM sama persis dengan yang masuk secara legal. Yang menjadi masalah, ponsel BM masuk ke Indonesia dengan cara diselundupkan lewat jalur tidak resmi untuk menghindari sistem perpajakan negara dan peraturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang dibuat pemerintah.
Sedangkan ponsel legal didistribusikan atau dijual lewat distributor resmi yang memiliki kerja sama atau ditunjuk oleh produsen ponsel untuk melakukan penjualan dan menyediakan layanan purna jual di Indonesia, serta telah memenuhi standar yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Ponsel BM Masih Beredar di Pasaran
Untuk mengetahui sejauh mana peredaran ponsel BM di Indonesia, tim Telset.id coba melakukan penelusuran secara langsung untuk mencari tahu, apakah peredaran ponsel BM masih ada atau tidak. Pencarian dilakukan melalui toko online dan juga toko fisik.
Dalam penelusuran ini, kami mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan ponsel terbesar di Jakarta, yakni ITC Roxy Mas, dengan mendatangi beberapa toko ponsel dan melakuan reportase langsung di lapangan.
Hasilnya, kami mendapatkan beberapa seri ponsel yang dijual tanpa garansi dari distributor resmi. Misalnya, Xiaomi Mi A2 Lite versi RAM 4GB dengan Storage 64 GB yang dijual seharga Rp 2.700.000. Kami curiga, ponsel tersebut BM, karena garansinya bukan dari PT Teletama Artha Mandiri (TAM) selaku distributor resmi Xiaomi di Indonesia.
Saat kami bertanya mengenai garansi apa yang dipakai. Penjaga toko itu menjawab jika garansi yang diberikan adalah ‘garansi distributor’. Awalnya kami sempat menduga jika yang dimaksud adalah garansi dari TAM, tapi ternyata dugaan kami meleset.
“Bukan mas, itu sih garansi resmi. Ini garansi distributor, sama aja kok selama ini gak ada masalah,” ucap si penjaga toko berusaha meyakinkan kami.
Dia mengatakan bahwa garansi yang dipakai bisa melalui garansi B-Cell. Bahkan jikapun terjadi kerusakan, mereka (pihak toko) akan membantunya dalam hal garansi. Sebagai informasi, yang dimaksud distributor di sini adalah importir umum yang memasukkan barang langsung dari luar Indonesia.
“Nanti kalau rusak ke sini aja mas, biar diurus garansinya,” ujar seorang pria yang juga adalah pemilik toko itu.
Kami coba ke toko lainnya. Di sini, kami diyakinkan bahwa tidak ada garansi resmi untuk seri Mi A2 Lite. Menurutnya kualitas garansi distributor tidak kalah bagus dengan garansi resmi. “Yang distributor juga bagus kok, dan soalnya Mi A2 Lite itu gak ada yang resmi mas,” ucapnya.
Hal serupa kami dapatkan juga di dua toko lain yang kami kunjungi. Kebanyakan toko-toko ini hanya memberikan garansi distributor tidak resmi. Kami menduga, barang-barang tersebut kemungkinan adalah ponsel BM yang masuk secara ilegal.
Tak hanya produk Xiaomi, kami juga mendapati beberapa merek ponsel ternama yang berstatus BM. Seperti Samsung, Huawei, iPhone, dll. Memang harus diakui, hampir semua merek ponsel ada yang menjual versi BM-nya.
Bahkan produk Apple terbaru seperti iPhone Xs, iPhone Xs Max, dan iPhone Xr yang sejatinya belum diluncurkan di Indonesia pun bisa kami jumpai di lapak-lapak penjualan. Tak hanya di toko fisik, penjualan ponsel BM juga marak di toko-toko online.
Hal itu kami ketahui setelah mencoba menelusuri penjualan ponsel BM via online. Yang pertama kami kunjungi adalah Bukalapak. Dari hasil penelusuran, kami menemukan di Bukalapak terdapat banyak akun yang menjual ponsel baru yang belum resmi masuk ke Indonesia. Ini artinya, ponsel-ponsel tersebut masuk kategori BM.
Seperti misalnya iPhone Xs dijual pada harga kisaran harga Rp 19 juta hingga Rp 27 juta. Begitupun untuk iPhone Xs Max, dijual dengan harga sekitar Rp 21 juta hingga Rp 27,8 juta. Selain Bukalapak, kami juga banyak menjumpai seri iPhone terbaru ini dijual di toko online lainyya, seperti Shopee dan Tokopedia.
Para penjual di toko-toko online ini mengaku jika ponsel yang mereka jual bergaransi resmi dari Apple pusat selama 1 tahun. Padahal kita tahu, Apple telah menujuk Erafone selaku distributor resminya di Indonesia, untuk menjual dan mengeluarkan garansi kerusakan, serta layanan purnajual.
Dari sisi harga sudah pasti ponsel BM jauh lebih murah dibanding ponsel yang dijual oleh distributor resminya. Dari hasil penelusuran kami, rata-rata perbedaan harga ponsel BM dengan ponsel dari distributor resmi berkisar antara Rp 300.000 hingga Rp 400.000. Perbedaan harga yang jomplang inilah yang membuat konsumen selalu tergoda untuk membeli ponsel BM.
Rugikan Banyak Pihak
Menanggapi masih banyaknya ponsel BM di pasaran, Direktur Marketing Komunikasi PT Erajaya Swasembada, Djatmiko Wardoyo mengaku sangat berang dengan masih maraknya peredaran ponsel BM di Indonesia.
Menurutnya, semua seri ponsel dari Apple dan Xiaomi yang masuk ke Indonesia, apalagi yang belum resmi diluncurkan di Indonesia, maka dapat dipastikan barang tersebut adalah berstatus BM.
“Prinsipnya selama ponsel tersebut masuk (ke Indonesia) tidak melalui distributor resmi, dan tidak di-cover garansi principal, ya berarti bukan barang resmi atau namanya ponsel BM,” tegas Djatmiko, saat dihubungi Telset.id.
Djatmiko mengatakan bahwa sebenarnya ada tiga pihak yang dirugikan oleh keberadaan ponsel BM. Yang pertama adalah pihak pemerintah. Karena produk yang masuk melalui jalur distributor resmi, pemerintah mendapatkan pajak melalui Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara pemerintah tidak akan mendapatkan pemasukan pajak dari ponsel BM.
“Pemerintah menerima penerimaan pajak berdasarkan peredaran ponsel tersebut. Itu pasti dapat dari PPN-nya. Tapi kalau barang BM gak ada (PPN-nya). Hal ini terkait dengan bocornya potensi penerimaan pajak negara,” jelas pria yang akrab disapa Koko itu.
Pihak kedua yang juga dirugikan adalah konsumen. Walaupun awalnya konsumen diuntungkan karena harga ponsel BM lebih murah, tapi ketika ponsel itu mengalami masalah atau rusak, maka konsumen tidak dapat melakukan perbaikan dari pihak distributor resmi seperti Erafone.
“Jadi dalam jangka pendek, konsumen memang bisa mendapat keuntungan karena harganya lebih murah. Tapi pada saat ponsel itu bermasalah, maka konsumen tidak mendapat jaminan resmi dari distributor. Jadi konsumen yang akan dirugikan,” kata Djatmiko.
Pihak terakhir yang dirugikan tentu saja adalah distributor resmi. Erafone selaku distributor resmi menilai bahwa penjualan ponsel BM mengganggu penjualan mereka, karena orang lebih memilih ponsel BM, walaupun tidak melalui jalur resmi.
“Mereka ini (pedagang gelap) mengambil porsi kita sebagai distributor resmi. Maka jika masih banyaknya ponsel BM maka ada potensi pengurangan penjualan dari pihak distributor resmi,” jelasnya.
Jalur Tikus dan Bandara Besar Jadi Pintu Masuk
Sindikat ponsel BM biasanya memiliki jaringan kuat, sehingga bisa mendistribusikan ponsel-ponsel BM atau ilegal hingga ke berbagai kota di Indonesia tanpa tersentuh aparat penegak hukum. Tentu sindikat itu sudah memiliki alur bagaimana mereka mendistribusikan ponsel BM dengan aman. Itu sebabnya jumlah ponsel BM di Indonesia masih sangat banyak
Banyaknya ponsel BM yang beredar di pasaran, juga karena kurangnya pengawasan dari aparat penegak hukum, termasuk pihak Bea dan Cukai. Biasanya, ponsel-ponsel BM itu mayoritas diselundupkan dari luar negeri melalui pelabuhan-pelabuhan kecil (jalur tikus), dan sebagian lagi masuk melalui pelabuhan besar, baik dalam bentuk komponen maupun ponsel utuh.
Menurut Kepala Seksi Publikasi II Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Budi Sulistyo para petugas Bea Cukai sering menangkap pelaku penyelundupan dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta dan Bandara Djuanda, Surabaya.
“Kalau seingat saya sih bandara Soekarno Hatta dan Djuanda juga sering jadi pintu masuk. Biasanya sih bandara-bandara besar ya,” kata Budi saat dijumpai Telset.id di kantornya.
Bandara besar tersebut, menurut Budi, memiliki jam penerbangan luar negeri yang padat, sehingga para penyelundup mencoba mencari celah di sana agar barang mereka bisa diselundupkan. Tapi Budi mengaku tidak mengetahui secara pasti alasan apa mereka memilih bandara besar sebagai pintu masuk.
“Kalau masalah itu kita tidak tahu ya. Tapi mungkin karena penerbangan dari luar negeri yang lewat bandara-bandara besar itu banyak, Kalau bandara kecil kan hanya 1 atau 2 penerbangan ke luar negeri, jadi sangat terbatas,” imbuhnya.
Tidak hanya melalui udara, Budi mengatakan jika jalur laut dan darat juga menjadi sasaran penyelundup. Pada jalur laut, pelabuhan Tanjung Priok dan pelabuhan-pelabuhan kecil yang ada di perbatasan menjadi pintu masuk penyelundup untuk memasukkan barangnya ke Indonesia.
Begitupun untuk pengiriman lewat jalur darat biasanya memanfaatkan jalur tikus, seperti jalur darat melalui Entikong, Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia. “Kalau di darat kita (Indonesia) ada perbatasan di Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia,” ucap Budi.
Malaysia bukan satu-satunya menjadi jalur utama dalam penyelundupan ponsel BM. Budi menyebutkan, bahwa Singapura juga menjadi jalur distribusi dari penyelundupan ponsel BM ke Indonesia.
Budi mengatakan bahwa para pelaku biasanya merupakan warga negara Indonesia. Mereka mengelabui petugas dengan menaruh ponsel BM tersebut di sebuah koper ataupun kontainer dengan barang lain seperti pakaian ataupun barang elektornik.
“Mereka tidak melampirkan dokumen. Caranya kadang ditenteng di koper, atau kalau lewat pelabuhan dimasukkan dengan kontenier dicampur barang lain,” terang Budi.
Saat ditanya ponsel apa yang paling banyak diselundupkan? Dia mengatakan Xiaomi dan iPhone menjadi merek yang paling banyak diselundupkan. “Hampir semua handphone (pernah diselundupkan), tapi menurut data yang paling banyak itu Xiaomi dan iPhone, ya” ungkapnya.
Kerugian Negara
Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kemenkeu pernah merilis penindakan terkait penyitaan miras dan ponsel illegal atau BM pada Kamis 15 Februari 2018 lalu. Hasilnya sebanyak 12.144 unit ponsel berbagai merek senilai Rp 18,2 miliar telah diamankan pemerintah. Dalam hal ini pemerintah pun melakukan penyitaan dari Jakarta, Depok dan Tangerang.
Menurut perkiraan jika ponsel tersebut beredar illegal di Indonesia, maka potensi kerugian negara mencapai Rp 3,1 miliar. Data DJBC menunjukkan, ponsel ilegal yang telah disita sepanjang tahun 2017 telah mencapai 20.545 unit dengan nilai barang sekitar Rp 59,6 miliar. Barang ilegal tersebut merugikan negara sekitar Rp 10,3 miliar.
Dari sisi kasus, keberadaan ponsel ilegal pada tahun lalu juga meningkat tajam dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2017, kasus penyelundupan ponsel ilegal mencapai 24.337 kasus, meningkat 63 persen dibandingkan jumlah kasus pada 2016 yang mencapai 14.890 kasus.
Ketua Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI) Hasan Aula mengatakan jika Indonesia masih menjadi pangsa pasar yang besar bagi ponsel BM. Menurutnya, dari penjualan ponsel di Indoensia, ada sekitar 20 persen penjualan yang produknya tidak memiliki izin resmi.
Menurut Hasan, ponsel BM terbesar datang dari China, terutama ponsel kelas menengah ke bawah dengan merek Xiaomi, meski perusahaan tersebut sudah memiliki pabrik perakitan di Batam, Kepulauan Riau. Tidak hanya itu, ponsel kelas atas seperti iPhone juga ada yang BM.
Saat ditanyakan apakah ponsel yang di beredar di pasaran dengan garansi distributor, seperti Platinum, B-CELL, dll itu boleh dibilang sebagai produk black market, karena bukan distributor resmi yang ditunjuk vendor ponsel? Hasan tidak secara tegas mengiyakan.
Tapi, menurut Hasan, semua ponsel yang masuk ke Indonesia harus memenuhi local content sesuai aturan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) sebesar 30%. Selain itu, vendor tidak boleh lagi import finish good atau produk utuh dari luar negeri, dan local content TKDN ditunjuk produsen ponselnya.
Ia mencontohkan, Xiaomi menunjuk ke Erajaya sebagai partner, dan produk yang dijual adalah bergaransi resmi Xiaomi Indonesia dengan logo TAM. Hasan mengatakan barang yang tidak memiliki logo tersebut (TAM), dianggap sebagai ilegal alias ponsel BM.
“Jadi selain di luar itu, berarti tidak diproduksi di Indonesia, dan selama bukan barang dari TAM dan bergaransi Xiaomi Indonesia (dianggap ponsel BM),” jawabnya singkat.
Hasan menambahkan, APSI mengharapkan pemerintah terus menerus melakukan penindakan atas maraknya peredaran ponsel BM di Indonesia. Karena, menurutnya, ponsel BM tidak sesuai dengan peraturan pemerintah untuk mendorong local investasi, dan juga pendapatan pajak negara akan hilang.
Kendala Utama Menghalau Ponsel BM
Bea Cukai sendiri mengaku terus berupaya mengatasi masuknya ponsel BM di Indonesia. Mereka mengatakan saat ini telah berkoordinasi dengan petugas Bea Cukai yang ada di daerah dan terus menjaga komunikasi dengan Direktorat Bea Cukai dari negara lain untuk bertukar informasi.
“Kita punya tools sendiri dan juga ada perwakilan Bea Cukai di daerah dan negara lain. Selain itu kita juga berkomunikasi dengan Dirjen Bea Cukai dari pemerintah negara lain,” ucap Budi
Selain itu, Budi mengatakan sudah berkomunikasi dengan asosiasi pengusaha ponsel dan juga jasa pengiriman logistik. Mereka juga saling bertukar informasi dan menindaklanjuti laporan yang ada.
Tetapi Bea Cukai sendiri menilai jika mereka masih memiliki kendala untuk mengatasi penyelundupan ponsel BM. Menurut Budi, salah satu kendalanya adalah kondisi garis pantai di Indonesia yang sangat luas, serta banyaknya bandara yang membuka penerbangan luar negeri sebagai pintu masuk.
Dia berpendapat, Indonesia harusnya bisa meniru Amerika Serikat yang hanya memiliki sedikit bandara yang menerima penerbangan luar negeri. Hal itu bisa dilakukan di Indonesia dengan hanya memberikan izin penerbangan luar negeri kepada satu atau dua bandara besar di setiap pulau.
“Karena (Indonesia) terlalu terbuka. Harusnya satu pulau hanya dua bandara yang akses ke luar negeri. Kenapa tidak Jakarta atau Surabaya saja, kalau dari bandara lain kan bisa transit. Begitu juga pelabuhan laut di Indonesia semua dibuka. Itu yang jadi kendala utamanya,” jelas Budi.
Pihak DJBC juga mendorong instansi lain seperti kepolisian dan juga Kementerian Perhubungan agar lebih menguatkan kegiatan pengawasan ponsel BM. “Kalo Bea Cukai berwenang pada saat masuk ke Indonesia, ada border-nya. Jadi kalau ada yang lebih bagus kita akan dorong instansi lain juga,” imbuhnya.
Menanti Regulasi Baru
Yang menjadi masalah dalam kasus ponsel BM adalah pada peredarannya. Ketika ponsel BM sudah beredar di Indonesia, acapkali pemerintah kebingungan untuk mendata kembali keberadaan ponsel BM.
Contoh reportase Telset.id membuktikan hal tersebut. Baik di toko offline maupun online masih banyak ponsel BM yang diperjualbelikan. Saat ini pemerintah sedang mewacanakan untuk menerapkan sistem validasi IMEI (International Mobile Equipment Identity) dalam rangka memerangi peredaran ponsel BM. IMEI sendiri adalah nomor identitas yang unik untuk masing-masing perangkat.
Menurut Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kominfo, Ismail, hingga saat ini pihak pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo dan Kemenperin sedang membahas regulasi sistem validasi IMEI.
“Kami bersama Kemenperin sekarang sedang membahas kemungkinan pemberlakukan sistem pengontrolan IMEI dari perangkat ponsel sebagai upaya pengendalian ponsel BM,” kata Ismail kepada Telset.id.
Ismail mengatakan bahwa yang mereka lakukan adalah untuk membantu sistem pengontrolan IMEI. Kominfo akan membantu untuk memblokir ponsel berdasarkan data IMEI, apakah masuk kategori ponsel ilegal atau bukan.
“Kita memberikan support barangkali bisa membantu. Kami membantu dengan sistem pengaturan IMEI. Ini sistem untuk pemblokiran kalau IMEI-nya illegal. Tapi data IMEI tersebut berada di perindustrian,” ucapnya.
Kominfo sendiri mengatakan jika pihaknya belum bisa melakukan penindakan terkait ponsel BM sebelum regulasi tersebut keluar. Bahkan untuk melakukan pemblokiran terhadap situs yang menjual ponsel BM sekalipun mereka belum bisa.
“Iya itu sistemnya (validasi IMEI) lagi dibangun. Database IMEI belum selesai. Kalau ponsel BM atau tidak BM kan harus tahu yang BM-nya apa?” ucap Ismail.
Dia juga belum dapat menjanjikan kapan regulasi itu akan selesai. Pasalnya mereka masih menunggu database IMEI ponsel yang resmi dari pihak Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Sikap menunggu juga dilakukan oleh Kemenperin.
Menurut Direktur Industri Elektronika dan Telematika, Ahmad Rodjih, bahwa pihaknya menilai jika regulasi IMEI efektif dalam menanggulangi peredaran ponsel BM karena ponsel tidak akan bisa difungsikan oleh pengguna.
“Dalam regulasi tersebut hanya IMEI yang terdaftar saja yang bisa digunakan untuk berkomunikasi,” terang Ahmad Rodjih.
Pendaftaran IMEI ponsel sendiri berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 108 Tahun 2012 Tentang Pendaftaran Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam (Handheld) dan Komputer Tablet. Pada peraturan tersebut ponsel yang masuk ke Indonesia harus didaftarkan dan diuji oleh pihak Kemenperin.
Ahmad Rodji mengakui kemungkinkan masih banyak ponsel yang tidak didaftarkan dan dilakukan pengujian oleh Kemenperin. Meski begitu, ia mengklaim sejak tahun 2012 hingga sekarang pihaknya sudah mendata hampir 1 miliar ponsel yang ada di Indonesia.
“Saat ini sudah terdaftar sekitar 1 miliar IMEI resmi dari produsen maupun importir. Tapi untuk IMEI ponsel BM, Kemenperi tidak memiliki datanya,” ucap Rodjih.
Berharap Keseriusan Pemerintah
Masalah peredaran ponsel BM sebenarnya bukanlah cerita baru di Indonesia. Masalah ini tidak akan bisa selesai karena pemerintah masih nampak seperti setengah hati dalam memberantasnya.
Tidak salah jika banyak tudingan yang mengatakan pemerintah tidak serius mengatasi peredaran ponsel BM. Bahkan sudah lama banyak beredar cerita-cerita miring soal adanya “permainan” atau kongkalikong antara pihak regulator dan para distributor nakal.
Tudingan itu memang sudah dibantah, namun aroma permainan itu sangat jelas terlihat, karena hingga kini para penjual ponsel BM itu masih melenggang bebas. Peraturan TKDN yang mewajibkan para vendor tak bisa import finish good atau memasukkan barang secara utuh ke Indonesia hanya sebatas aturan di atas kertas saja.
Terbukti, masih banyak ponsel-ponsel BM atau yang bukan masuk lewat distributor resmi dapat dengan bebas dijual di toko-toko fisik, maupun via online store. Itu artinya pengawasan pemerintah selaku regulator masih sangat lemah, atau jangan-jangan memang dibiarkan bebas.
Besarnya daya serap pasar terhadap smartphone di Indonesia telah memberikan banyak kesempatan bagi para distributor ponsel untuk saling bersaing. Hal ini akhirnya menciptakan persaingan yang ketat di antara distributor ponsel, sehingga beberapa distributor yang “kalah kuat” tidak mampu bersaing secara sehat.
Mereka inilah yang akhirnya memilih memasukkan dan menjual ponsel secara illegal, tanpa harus membayar pajak kepada negara, dan tidak melewati aturan resmi. Modus ini tentu saja sangat menguntungkan bagi para penjual, tapi merugikan bagi konsumen karena tidak mendapat jaminan garansi perbaikan kerusakan.
Peraturan TKDN yang mengharuskan kandungan lokal sebesar 30 persen dan mewajibkan pengontrolan IMEI sejatinya diharapkan bisa mengatasi peredaran ponsel BM di Indonesia. Dengan adanya kontrol IMEI, barang yang lulus sertifikasi postel semua IMEI-nya akan ada di database. Sedangkan yang tidak ada (IMEI), perangkatnya akan diblokir.
Kita memang berharap pemerintah untuk lebih serius menegakkan aturan tentang registrasi IMEI. Namun, tanggungjawab juga tidak harus ditimpakan semua ke pemerintah saja. Tanggungjawab masalah ini juga harusnya menjadi perhatian bagi semua ekosistem di perdagangan ponsel, mulai dari importir, pedagang, dan juga konsumen.
Ya, harus diakui kesadaran konsumen untuk membeli produk-produk berkualitas bergaransi resmi dari produsen atau distributor resmi masih sangat rendah. Konsumen kurang aware terhadap kualitas produk, dan hanya ingin punya gadget berteknologi tinggi, tetapi dengan harga murah.
Jadi, justru masyarakat sendiri yang terkadang “sengaja” mencari ponsel-ponsel murah, meski garansinya tidak jelas. Itu sebabnya ponsel BM justru laku di pasaran. [Tim Telset.id]
Reporter: Naufal Mamduh
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Bayu Sadewo