Telset.id – Bayangkan sel surya yang bisa ditekuk hingga 3.000 kali tanpa kehilangan efisiensi. Bukan lagi khayalan, tim ilmuwan China baru saja memecahkan rekor dunia dengan menciptakan sel surya tandem fleksibel berkinerja tinggi.
Dalam studi terbaru yang dipublikasikan di Nature Energy, para peneliti dari Chinese Academy of Sciences berhasil mengembangkan sel surya perovskite/CIGS (copper indium gallium selenide) dengan efisiensi stabil mencapai 24,6%. Angka ini menyaingi sel surya kaku terbaik di pasaran.
Revolusi di Balik Layar: Teknologi Antisolvent-Seeding
Kunci keberhasilan terletak pada strategi antisolvent-seeding yang inovatif. Permukaan CIGS yang kasar selama ini menjadi penghalang utama untuk menumbuhkan lapisan perovskite berkualitas tinggi di atasnya. Tim Prof. Ye Jichun memecahkan masalah ini dengan:
- Memisahkan proses adsorpsi dan pelarutan SAM (self-assembled monolayer)
- Menggunakan pelarut polaritas tinggi untuk mencegah penggumpalan SAM
- Menerapkan lapisan benih perovskite pra-campur untuk meningkatkan kristalinitas
“Pendekatan ini seperti membangun fondasi yang sempurna sebelum mendirikan gedung pencakar langit,” jelas salah satu peneliti dalam wawancara eksklusif dengan Telset.id.
Daya Tahan yang Mengagumkan
Sel surya fleksibel ini tidak hanya efisien, tetapi juga tangguh. Setelah 320 jam operasi dan 3.000 siklus tekukan dengan radius 1 cm, perangkat masih mempertahankan lebih dari 90% efisiensi awalnya. Ini merupakan terobosan besar untuk aplikasi:
- Pembangkit listrik portabel
- Integrasi dengan pakaian pintar
- Sistem energi kendaraan listrik
- Perangkat elektronik wearable
Dr. Zhang Wei, ahli material dari Universitas Beijing yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menyatakan: “Pencapaian tim NIMTE ini membuka babak baru dalam teknologi fotovoltaik. Fleksibilitas dan efisiensi tinggi yang dikombinasikan dalam satu paket benar-benar mengubah permainan.”
Masa Depan Energi Terbarukan
Dengan sertifikasi efisiensi 23,8% dari badan independen, sel surya ini siap untuk komersialisasi. Para peneliti memperkirakan teknologi ini akan mencapai pasar dalam 3-5 tahun mendatang, dengan potensi mengurangi biaya energi terbarukan hingga 40%.
Di tengah krisis iklim global, terobosan semacam ini bukan sekadar prestasi akademis. Ini adalah harapan konkret untuk transisi energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Pertanyaan sekarang: seberapa cepat industri bisa mengadopsi teknologi revolusioner ini?