Regulasi OTT Mendesak untuk Industri Telco yang Terancam

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – Industri telekomunikasi Indonesia sedang berada di ujung tanduk. Lonjakan trafik data dari platform Over-the-Top (OTT) seperti Google, Facebook, dan Netflix telah menciptakan ketimpangan ekosistem digital yang mengancam keberlanjutan operator seluler nasional. Tanpa regulasi yang mengikat, bisnis telco bisa kolaps di bawah beban infrastruktur yang terus membengkak.

Agung Harsoyo, Dewan Pengawas Masyarakat Telematika (Mastel), membeberkan fakta mengejutkan: platform digital global itu menyedot 70% lebih bandwidth jaringan telco, tetapi tidak berkontribusi sepeser pun untuk pembangunan infrastruktur. “Ini seperti tamu makan prasmanan di hotel bintang lima tapi tidak mau bayar,” ujira Agung dalam analogi yang tajam.

Ketimpangan Ekosistem Digital

Data Mastel menunjukkan, operator telekomunikasi di Indonesia harus menggelontorkan Rp 120 triliun per tahun hanya untuk membangun dan memelihara jaringan. Sementara itu, pendapatan iklan dan langganan platform OTT di Indonesia pada 2024 mencapai Rp 45 triliun—tanpa ada alokasi untuk cost recovery infrastruktur.

Andre Rosiade, Wakil Ketua Komisi VI DPR, menyoroti ironi ini dalam Rapat Dengar Pendapat dengan jajaran Direksi Telkom. “Kita seperti membangun jalan tol dengan biaya sendiri, lalu diserobot mobil-mobil asing tanpa bayar,” tegasnya. Situasi ini diperparah dengan penyimpanan data pengguna OTT yang mayoritas dilakukan di server luar negeri, menimbulkan risiko keamanan dan kedaulatan data.

Regulasi Imperatif sebagai Solusi

Agung menawarkan dua model solusi yang sudah diterapkan di negara lain:

  • Fair Share Model ala Korea Selatan: OTT membayar biaya infrastruktur berdasarkan volume trafik yang dihasilkan
  • Revenue Sharing versi India: Pembagian pendapatan iklan dan langganan OTT dengan operator lokal

Indonesia sebenarnya memiliki payung hukum melalui PP No. 46/2021 dan PM Kominfo No. 5/2021. Namun, regulasi ini tidak imperatif—lebih seperti ajakan baik daripada kewajiban hukum. “Ini ibarat peraturan lalu lintas tanpa tilang,” sindir Agung.

Komdigi Bergerak, Tapi Cukupkah?

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mulai merumuskan peta jalan kebijakan 2025-2030. Edwin Hidayat Abdullah, Dirjen Ekosistem Digital Komdigi, menegaskan fokus pada pemerataan infrastruktur. Namun, tanpa regulasi OTT yang tegas, upaya ini seperti menimba air dengan keranjang.

Seperti ditunjukkan dalam ekspansi jaringan 5G Telkomsel, pembangunan infrastruktur membutuhkan investasi besar. Jika OTT tidak ikut menanggung beban ini, bukan tidak mungkin operator akan menaikkan tarif layanan—dampaknya akan dirasakan langsung oleh 212 juta pengguna internet Indonesia.

Pilihan ada di tangan pemerintah: membiarkan ekosistem digital tumbuh pincang, atau mengambil langkah berani seperti Korea dan India. Keputusan sekarang akan menentukan apakah Indonesia menjadi tuan rumah atau sekadar penyedia infrastruktur bagi raksasa digital global.

TINGGALKAN KOMENTAR
Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI