Telset.id – Bayangkan tanah leluhur yang telah menghidupi keluarga Anda selama ratusan tahun tiba-tiba diatur oleh aturan baru demi sertifikat karbon. Inilah dilema yang dihadapi komunitas peternak Maasai di Kenya utara, di mana proyek penangkapan karbon justru memicu konflik sosial. Laporan eksklusif The Wall Street Journal mengungkap bagaimana Northern Kenya Rangelands Carbon Project—program andalan perusahaan teknologi seperti Netflix dan Meta untuk offset emisi—kini terancam bubar.
Dua Dunia yang Bertabrakan
Proyek seluas 4,7 juta hektar ini mengubah padang rumput tradisional menjadi “spons karbon” dengan membiarkan rumput tumbuh untuk menyerap CO₂. Sebagai imbalan, masyarakat mendapat bagi hasil dari penjualan kredit karbon. Namun, syaratnya ketat: peternak harus menerapkan rotasi penggembalaan agar vegetasi pulih. Masalahnya, teknik ini bertentangan dengan kebiasaan turun-temurun suku Maasai yang menggembala ternak secara bebas.
“Mereka menjanjikan kemakmuran, tapi yang terjadi justru pembatasan akses ke tanah kami,” keluh seorang peternak dalam laporan tersebut. Beberapa bahkan mengaku tak memahami konsekuensi perjanjian awal. Ironisnya, kredit karbon dari sengketa ini telah dibeli raksasa teknologi untuk mengklaim status carbon neutral—istilah yang kini semakin dipertanyakan keabsahannya.
Baca Juga:
Kredit Karbon: Solusi atau Ilusi?
Industri teknologi memang bergantung pada mekanisme offset emisi untuk menetralkan dampak operasionalnya. Server cloud yang menjalankan streaming film atau pelatihan AI—seperti yang diungkap dalam laporan konsumsi energi Tesla—memerlukan daya listrik dan air yang masif. Namun, kasus Kenya membuktikan bahwa proyek karbon tak selalu berjalan mulus di lapangan.
Pertanyaannya: apakah skema ini benar-benar berkelanjutan, atau sekadar greenwashing yang dipoles angka-angka? Dengan proyek Kenya kini ditangguhkan, perusahaan yang telah membeli kreditnya—termasuk yang mengklaim produknya ramah lingkungan seperti Google—harus mempertanggungjawabkan klaim netral karbon mereka.
Kisah Kenya menjadi pengingat: transisi hijau harus inklusif. Tanpa melibatkan masyarakat lokal sebagai mitra setara, proyek lingkungan berisiko menjadi kolonialisme ekologis berkedok sustainability. Mungkin sudah waktunya industri teknologi—seperti inovasi perangkat hemat energi di era awal—mencari solusi yang lebih adil.