Peringkat Smart City Indonesia Kalah dari Vietnam dan Malaysia

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Pernahkah Anda merasa bahwa kemacetan di Jakarta semakin parah setiap harinya? Atau mungkin Anda bertanya-tanya mengapa kota-kota di Indonesia masih tertinggal dalam hal teknologi dan tata kelola dibandingkan negara tetangga? Hasil riset terbaru IMD Smart City Index 2025 memberikan jawaban yang mengejutkan sekaligus memprihatinkan.

Jakarta, sebagai barometer perkembangan kota pintar di Indonesia, tercatat stagnan di peringkat 103—sama seperti tahun sebelumnya. Yang lebih mengejutkan, posisi ibu kota kita kini tersalip oleh Ho Chi Minh City dari Vietnam, yang sebelumnya berada di bawah Jakarta. Tidak hanya itu, dua kota besar lainnya, Medan dan Makassar, juga menunjukkan performa yang kurang menggembirakan.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Indonesia tertinggal dalam lomba smart city di kawasan Asia Tenggara? Mari kita telusuri lebih dalam.

Peringkat Smart City Indonesia: Stagnan di Bawah Rata-Rata

Berdasarkan IMD Smart City Index 2025, Jakarta tetap berada di peringkat 103, sementara Medan turun satu peringkat ke posisi 113. Makassar sedikit membaik dengan naik satu peringkat ke 114, tetapi capaian ini masih jauh di bawah kota-kota besar Asia Tenggara seperti Singapura (peringkat 9), Kuala Lumpur (65), Bangkok (86), dan Hanoi (88). Bahkan, Ho Chi Minh City berhasil melompat ke peringkat 100, menggeser Jakarta.

Indonesia hanya unggul dari Manila (Filipina) yang berada di posisi 125. Ini jelas bukan prestasi yang membanggakan, mengingat potensi sumber daya dan populasi urban yang terus bertumbuh.

Kemacetan dan Korupsi: Dua Masalah Utama

Hasil survei IMD mengungkap bahwa kemacetan dan korupsi menjadi biang keladi rendahnya peringkat smart city di Indonesia. Di Jakarta, warga mengeluhkan polusi udara, kemacetan lalu lintas, dan kurangnya transparansi akibat korupsi sebagai tiga isu terbesar. Medan menghadapi masalah keamanan, korupsi, dan kemacetan, sementara Makassar berjuang dengan pengangguran tinggi, korupsi, dan kemacetan.

“Kota pintar seharusnya mampu menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, teknologi, kelestarian lingkungan, dan inklusi sosial,” demikian definisi smart city menurut IMD. Sayangnya, ketiga kota besar Indonesia masih jauh dari kriteria tersebut.

Mahalnya Hunian: Masalah Baru yang Muncul

Selain masalah klasik seperti korupsi dan kemacetan, IMD Smart City Index 2025 juga menyoroti mahalnya harga hunian di kota-kota besar dunia, termasuk Indonesia. Keterjangkauan hunian kini tidak hanya menjadi masalah bagi rumah tangga berpendapatan rendah, tetapi juga kelas menengah.

Dalam survei khusus, IMD menanyakan apakah warga kesulitan menemukan hunian dengan biaya sewa di bawah 30% dari gaji bulanan mereka. Hasilnya, banyak warga urban Indonesia yang terjebak dalam lingkaran harga properti yang tidak terjangkau.

Belajar dari Negara Tetangga

Lalu, bagaimana Vietnam dan Malaysia bisa melampaui Indonesia? Ho Chi Minh City dan Hanoi berhasil naik peringkat berkat investasi besar-besaran dalam infrastruktur digital dan transportasi publik. Sementara Kuala Lumpur melesat delapan peringkat karena kebijakan transparansi dan efisiensi birokrasi.

Indonesia jelas perlu mengevaluasi strategi pengembangan smart city-nya. Tanpa perbaikan mendasar dalam tata kelola, transparansi, dan infrastruktur, kita hanya akan terus tertinggal.

Jadi, kapan Jakarta dan kota-kota besar lainnya akan benar-benar menjadi “pintar”? Jawabannya ada di tangan pemerintah dan masyarakat sendiri. Tanpa kolaborasi dan komitmen bersama, impian smart city mungkin hanya akan tetap menjadi mimpi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI