Telset.id – Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Meutya Hafid secara aktif mendorong sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas). Aturan yang disahkan Presiden Prabowo Subianto pada 28 Maret 2025 ini menyasar peran orang tua dan memerlukan dukungan penuh dari platform digital agar implementasinya efektif.
Meutya menegaskan bahwa PP Tunas membutuhkan perpanjangan tangan pemerintah, termasuk Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (RTIK), untuk menjangkau masyarakat hingga ke daerah terpencil. Sosialisasi dinilai penting karena sifat teknis peraturan pemerintah yang mungkin membingungkan bagi orang awam. “Karena ini bentuknya peraturan pemerintah, tentu kalau kita baca PP-nya mungkin agak membingungkan, sehingga kita perlu banyak teman-teman yang juga memperkenalkan PP ini kepada para orang tua di berbagai daerah di Indonesia,” ujar Meutya dalam temu media di acara Temu Nasional Pegiat Literasi Digital 2025 di Jakarta, Rabu (11/12/2025).
Ia mengakui bahwa dampak PP Tunas belum sepenuhnya terasa karena setiap aturan memerlukan masa penyesuaian minimal satu tahun sebelum dapat berjalan optimal. Meutya mengibaratkan proses implementasi yang serupa terjadi di Australia, yang melahirkan undang-undang pada November 2024 namun baru dapat dilaksanakan pada 10 Desember 2025. “Mudah-mudahan tahun depan sudah bisa kita laksanakan apa yang ditunggu detail-detail pelaksanaannya, karena ini tidak mudah,” tambahnya.
Baca Juga:
Kolaborasi Kunci: Platform, Orang Tua, dan Anak
Keberhasilan PP Tunas sangat bergantung pada tiga pilar utama: platform digital, orang tua, dan anak-anak itu sendiri. Meutya menyoroti bahwa tanpa dukungan teknis dari platform, aturan ini berisiko menjadi sekadar wacana. “Kalau platform tidak dukung, PP ini akan menjadi aturan yang tidak bisa dijalankan dengan baik, kemudian juga perlu bicara dengan orang tua dan anak-anak,” imbuhnya.
Peran orang tua menjadi fokus khusus dalam sosialisasi. Meutya mencatat bahwa seringkali anak dapat mengakses media sosial karena mendapatkan izin dari orang tua. Oleh karena itu, literasi digital bagi orang tua menjadi krusial. Namun, ia menegaskan bahwa sanksi dalam PP Tunas diarahkan kepada platform digital, bukan kepada orang tua atau anak. “Karena kalau di Komdigi aturannya ya terkait ranah digitalnya, bukan kepada orang tuanya. Jadi platform yang memang nanti masih kedapatan anak di bawah umur misalnya anak 10 tahun masuk di ranah sosial medianya, ya platform-nya yang kita berikan sanksi,” tegas Meutya.
Proses penyusunan PP Tunas sendiri melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), UNICEF, berbagai lembaga pemerhati anak, dan bahkan melibatkan pertemuan langsung dengan anak-anak untuk mendengar aspirasi mereka. Pendekatan kolaboratif ini diharapkan dapat menciptakan ekosistem digital yang lebih aman dan sesuai dengan tahap perkembangan anak, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Kemkomdigi: PP Tunas Jadi Literasi Digital Penggunaan Medsos oleh Anak.
Implementasi dan Tantangan ke Depan
Langkah sosialisasi yang masif menjadi kunci sebelum PP Tunas benar-benar diterapkan. Meutya berharap detail pelaksanaan teknis dapat segera diselesaikan sehingga aturan dapat dijalankan pada tahun depan. Komitmen ini sejalan dengan seruan “Tunggu Anak Siap” sebelum anak memasuki dunia digital, yang menekankan pada kesiapan psikologis dan edukatif.
Dukungan dari para pakar juga menguatkan posisi PP Tunas sebagai langkah progresif. Seperti dilaporkan dalam artikel Pakar Dukung PP Tunas Lindungi Anak dari Dampak Negatif Digital, aturan ini mendapat apresiasi sebagai upaya sistematis melindungi anak dari konten berbahaya di ruang digital.
Dengan fokus pada governance platform dan edukasi orang tua, PP Tunas tidak dimaksudkan untuk membatasi akses anak secara membabi buta, melainkan menciptakan rambu-rambu dan tanggung jawab yang jelas bagi penyelenggara sistem elektronik. Keberhasilan aturan ini akan sangat ditentukan oleh sejauh mana sosialisasi dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan seberapa serius platform digital mengimplementasikan mekanisme perlindungan anak dalam layanannya.
Perjalanan implementasi PP Tunas masih panjang, namun langkah awal dengan sosialisasi yang menyasar orang tua dan kolaborasi multipihak menunjukkan arah yang jelas. Efektivitas aturan ini kelak akan menjadi tolok ukur bagi komitmen Indonesia dalam menciptakan ruang digital yang tidak hanya inklusif, tetapi juga bertanggung jawab dan aman bagi generasi penerus bangsa.

