Masa Depan Pusat Data Hijau: Solusi untuk Wilayah Rentan Iklim

REKOMENDASI

ARTIKEL TERKAIT

Bayangkan sebuah kota yang terus tumbuh, di mana setiap detiknya jutaan data dihasilkan—mulai dari unggahan media sosial hingga transaksi digital. Di balik layar, pusat data (data center) bekerja tanpa henti, mengonsumsi listrik dan air dalam jumlah besar untuk menjaga server tetap dingin. Namun, tahukah Anda bahwa tanpa langkah berani, industri ini bisa menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di masa depan?

Durham University baru-baru ini merilis studi yang mengungkap tantangan besar di balik digitalisasi perkotaan. Dipimpin oleh Dr. Karen Lai dari Departemen Geografi, penelitian ini menyoroti dampak lingkungan dari pusat data, terutama di wilayah dengan sumber daya terbatas dan risiko iklim tinggi. Temuan ini menjadi alarm bagi banyak negara, termasuk Indonesia, yang sedang gencar membangun infrastruktur digital.

Lalu, bagaimana kita bisa menyeimbangkan kebutuhan digital dengan keberlanjutan lingkungan? Mari telusuri solusi inovatif dari studi terbaru ini.

Dilema Pusat Data di Tengah Krisis Iklim

Pusat data adalah jantung dari ekonomi digital. Mereka mendukung segala hal, mulai dari layanan pemerintah hingga kecerdasan buatan (AI). Namun, operasional 24/7 ini membutuhkan energi dan pendinginan yang masif. Menurut penelitian, tanpa intervensi, pusat data global bisa menyumbang 3-8% emisi karbon dunia pada 2030—angka yang setara dengan industri penerbangan!

data center

Studi yang diterbitkan di npj Urban Sustainability ini mengambil contoh Singapura, negara dengan ekonomi digital maju tetapi sumber daya alam terbatas. Pada 2019, Singapura sempat menghentikan pembangunan pusat data baru karena kekhawatiran lingkungan. Kebijakan ini kemudian direvisi pada 2022 dengan syarat ketat: efisiensi energi tinggi, penggunaan energi terbarukan, dan desain adaptif untuk iklim tropis.

Solusi Berkelanjutan untuk Iklim Tropis

Tim peneliti menggabungkan analisis kebijakan, wawancara dengan 59 pemangku kepentingan, dan lokakarya dengan 150 peserta industri. Hasilnya? Ada empat pilar utama untuk pusat data hijau:

  1. Inovasi Teknologi: Pendingin cair (liquid cooling) dan AI untuk optimisasi energi.
  2. Kebijakan Progresif: Insentif bagi pusat data yang memenuhi standar hijau.
  3. Pendanaan Berkelanjutan: Green bonds dan investasi ESG (Environmental, Social, Governance).
  4. SDM Terampil: Pelatihan khusus untuk mengelola infrastruktur digital rendah karbon.

New study paves way for greener digital infrastructure

Singapura, misalnya, kini menguji coba pusat data terapung yang menggunakan air laut untuk pendinginan alami. Langkah ini bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia, yang juga menghadapi tantangan serupa dalam pembangunan pusat data berkelanjutan.

Peluang dan Tantangan di Indonesia

Indonesia, dengan pertumbuhan ekonomi digital tercepat di Asia Tenggara, tidak bisa mengabaikan isu ini. Proyek seperti pusat data bertenaga nuklir yang diusulkan Meta menunjukkan betapa kompleksnya tantangan energi bersih.

Namun, peluangnya besar. Dengan panas bumi sebagai sumber energi terbarukan dan kebijakan hijau yang mulai digalakkan, Indonesia bisa menjadi pemain kunci dalam revolusi pusat data berkelanjutan. Pertanyaannya: siapkah kita berkolaborasi—pemerintah, industri, dan masyarakat—untuk mewujudkannya?

Studi Durham University mengingatkan kita: digitalisasi dan keberlanjutan bukanlah dua hal yang bertentangan. Dengan pendekatan tepat, kita bisa membangun infrastruktur digital yang tidak hanya canggih, tetapi juga ramah lingkungan. Bagaimana pendapat Anda?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI

HARGA DAN SPESIFIKASI