LinkedIn Games: Ketagihan Main Puzzle di Platform Pencari Kerja

REKOMENDASI

ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – Bayangkan ini: Jumat malam di klub, musik techno menggelegar, tapi alih-alih menari, Anda malah asyik bermain game di LinkedIn. Ya, platform yang selama ini identik dengan pencarian kerja dan networking profesional kini punya sisi lain yang tak terduga—sebuah dunia game puzzle yang bikin ketagihan.

Sejak setahun lalu, LinkedIn memperkenalkan fitur games, dan sejak itu, banyak pengguna seperti Peter Rubin, kepala penerbitan di Automattic, mengaku kecanduan. “Ini seperti penyegar pikiran,” katanya. “Game-game ini sempurna—singkat, tidak memakan waktu, dan langsung selesai.”

Dari Queens hingga Zip: Ragam Game yang Menantang

LinkedIn Games awalnya meluncur dengan tiga jenis puzzle: Queens (permainan mirip catur), Pinpoint (tebak frasa), dan Crossclimb (varian Wordle). Kini, mereka menambahkan Tango (harmonisasi grid) dan Zip (labirin geser). Setiap game dirancang untuk merangsang otak tanpa memakan waktu lama.

“Saya langsung ketagihan,” ujar Tavonne Thomas, seorang fotografer di London. “Ketika LinkedIn bilang saya lebih pintar dari sekian persen CEO, rasanya luar biasa!”

Inspirasi dari The New York Times, tapi dengan Sentuhan LinkedIn

Lakshman Somasundaram, kepala divisi games LinkedIn, mengakui bahwa ide ini terinspirasi dari kesuksesan game puzzle The New York Times. Namun, LinkedIn ingin memberikan pengalaman unik. “Kami ingin LinkedIn terasa seperti tempat kerja terbaik di dunia,” katanya. “Game ini adalah cara untuk membawa kesenangan ke platform kami.”

Berbeda dengan game sosial era 2010-an seperti FarmVille, LinkedIn Games dirancang untuk memicu interaksi profesional. Setelah menyelesaikan game, pengguna bisa melihat skor mereka, waktu penyelesaian, dan bahkan siapa saja di jaringan mereka yang juga bermain.

Kritik dan Kontroversi: Apakah Games Mengalihkan Fokus?

Namun, tidak semua pengguna menyukai fitur ini. Mitchell Tan, pendiri layanan pesan yang lahir dari frustrasi terhadap LinkedIn, mengkritik game sebagai pemborosan sumber daya. “LinkedIn adalah tempat untuk menghasilkan uang,” tegasnya. “Mengapa mereka fokus pada game alih-alih memperbaiki fitur inti seperti inbox?”

Meski demikian, bagi banyak orang seperti Kelli Frye, seorang akuntan di Tennessee, game-game ini justru menjadi alasan utama membuka LinkedIn. “Saya tadinya cuma mau lihat postingan cringe,” akunya. “Sekarang saya malah lebih tertarik pada puzzle.”

Bahkan, beberapa pengguna seperti Andrew Shaw membuat grup khusus untuk para pencinta game LinkedIn. “Saya di sini cuma untuk puzzle,” katanya. “Bukan untuk postingan inspirasi atau politik.”

Dibalik layar, setiap game dirancang manual oleh ahli puzzle seperti Thomas Snyder, juara sudoku. Tidak ada AI yang terlibat—setiap papan permainan dipikirkan dengan matang untuk memberikan pengalaman “percakapan” antara pemain dan pembuat puzzle.

Apakah game-game ini sukses? LinkedIn enggan berbagi angka pasti, tapi mengklaim 84% pemain kembali keesokan harinya. Yang jelas, bagi banyak orang, LinkedIn kini bukan sekadar platform kerja—tapi juga tempat untuk mengasah otak.

ARTIKEL TERKINI

HARGA DAN SPESIFIKASI