Telset.id, Jakarta – Karyawan Google dilaporkan ingin menggunakan mesin pencarian website untuk melawan kebijakan Travel Banned atau Travel Ban yang dikeluarkan pemerintah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump kepada beberapa negara.
Berdasarkan laporan Wall Street Journal yang dilansir CNET pada Kamis (20/9/2018), para karyawan Google disebutkan saling berbalas email untuk merencanakan aksi perlawanan tersebut.
Mereka nantinya akan mengubah sistem pencarian di Google sebagai bentuk dukungan terhadap para imigran dan etnis minoritas yang terkena travel ban.
Baca juga: Google Assistant Tersedia untuk Android Auto, Ini Manfaatnya
Perubahan pada sistem akan menunjukan kepada para pengguna bagaimana berkontribusi pada organisasi pro-imigran dan bagaimana menghubungi para pembuat undang-undang dan lembaga pemerintah.
Wall Street Journal juga mengatakan bahwa para karyawan Google membahas bagaimana cara “memanfaatkan” fungsi pencarian Google untuk memerangi apa yang mereka anggap sebagai “islamophobia”, dan diskriminasi terhadap etnis Amerika Latin dari Amerika Selatan dan lain sebagainya.
Seperti diketahui bahwa pasca dilantik pada 20 Januari 2017 lalu, Presiden AS, Donald Trump mengeluarkan Travel Ban pada beberapa negara. Kebijakan ini adalah larangan bagi negara yang statusnya terkena Travel Ban untuk masuk ke Amerika Serikat.
Baca juga: Ribuan Karyawan Google Protes Proyek Mesin Pencari China
Adapun negara yang mengalami Travel Ban adalah negara dengan mayoritas berpenduduk muslim dan etnis Amerika Latin, seperti Irak, Iran, Suriah, Libya, Yaman, Sudan dan Somalia. Selain itu Venezuela, Korea Utara dan Chad juga tak luput dari kebijakan Trump.
Laporan tersebut bisa berdampak bagi Google. Tampaknya kalangan konservatif Amerika semakin mengintensifkan pengawasan terhadap perusahaan yang berkantor pusat di California tersebut.
Baca juga: Ini Kunci Rahasia Karyawan Google Kebal dari Phishing
Sebelumnya, pada awal bulan ini pihak Google dipanggil ke Capitol Hill. Hal yang pernah dialami oleh COO Facebook, Sheryl Sandberg dan CEO Twitter, Jack Dorsey. Saat itu mereka harus menerima banyak pertanyaan terkait keamanan data, netralitas dalam pemilu dan juga sistem algoritma perusahaan.
Sayangnya CEO Google, Sundar Pichai atau CEO Alphabet yang juga dipanggil tidak hadir saat itu, sehingga memancing kemarahan para anggota parlemen.
Bantahan Google
Pihak Google pun langsung angkat suara. Mereka mengatakan pada Kamis (20/9), jika tidak ada satu pun dari ide yang dibahas pernah dilaksanakan.
“Email-email ini hanyalah sebuah ide bertukar pikiran, tidak ada yang pernah diimplementasikan,” ucap juru bicara Google, seperti yang dilansir CNET.
“Google tidak pernah memanipulasi hasil pencariannya atau memodifikasi salah satu produknya untuk mempromosikan ideologi politik tertentu. Tidak dalam musim kampanye saat ini, tidak selama pemilihan 2016, dan bukan setelah perintah eksekutif Presiden Trump pada imigrasi,” ucapnya.
Baca Juga : Tolak Proyek Pentagon, Selusin Karyawan Google Pilih Resign
“Kebijakan kami tidak akan memungkinkan terjadinya manipulasi hasil pencarian untuk mempromosikan ideologi politik,” tambah juru bicara Google.
Pernyataan tersebut mungkin memuaskan Trump yang bulan lalu menuduh Google bias politik. Dalam akun twitternya, Trump menulis jika hasil pencarian Google sifatnya mencurangi dan menekan suara pihak konservatif. Pun pada laporan dari Wall Street Journal ini, pihak Gedung Putih belum mau berkomentar. [NM/HBS]
Sumber: CNET