Telset.id, Jakarta – Bos Facebook, Mark Zuckerberg, dan eksekutif lain mendiskusikan “tombol pemutus” untuk mematikan iklan politik setelah pemilu berakhir. Tujuannya untuk mengekang informasi salah.
Dilansir New York Post, Facebook sedang melihat skenario pascapemilihan yang mencakup upaya Presiden Donald Trump maupun kampanyenya untuk menggunakan platform sebagai alat delegitimasi hasil.
{Baca juga: Asal Ikuti Aturan, Facebook Izinkan Politikus Ngiklan}
Seperti dikutip Telset.id, Senin (24/8/2020), perusahaan media sosial itu mendapat kecaman karena mengecualikan iklan dan pidato politisi dari pemeriksaan fakta. Tahun lalu, Twitter juga melarang iklan politik eksis.
Asal tahu saja, Twitter dalam beberapa bulan terakhir telah menambahkan label pengecekan fakta dan peringatan ke setiap cuitan Trump, termasuk beberapa yang menyentil entang pemungutan suara melalui surat.
Facebook, yang memutuskan untuk tidak menindaklanjuti konten tersebut, telah menghadapi kritik dari karyawan dan anggota parlemen. Para karyawan Facebook sempat melakukan demonstrasi untuk menentang iklan politik.
Juni 2020, Facebook mulai melabeli semua postingan dan iklan tentang voting dengan tautan ke informasi otoritatif, termasuk dari politisi. Sayang, Facebook tidak segera menanggapi permintaan komentar klarifikasi.
{Baca juga: Twitter Beri Label Khusus di Akun Politisi, Ini Alasannya}
Kampanye kandidat presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden, sempat menerbitkan surat terbuka pada Juni 2020 kepada Zuckerberg, meminta agar Facebook memeriksa fakta iklan politisi dua minggu sebelum pemilihan.
Sebelumnya, Facebook memungkinkan kandidat politik di Amerika Serikat (AS) untuk unggah konten iklan politik di platform. Namun, konten Facebook yang diunggah politikus tersebut tidak akan di katalogkan di perpustakaan iklan.
Facebook mengizinkan kampanye dan grup politik untuk menggunakan fitur konten bersponsor di dalam platform.
Fitur ini memungkinkan influencer untuk menandai di sub-header resmi bahwa sifatnya adalah kemitraan berbayar dengan salah satu politikus.
Perubahan tersebut terjadi setelah kandidat calon presiden dari partai Demokrat, Michael Bloomberg, membayar akun meme populer di Instagram milik Facebook. Tujuannya, untuk mengirim konten tentang dirinya.
{Baca juga: Google Hapus 300 Iklan Donald Trump, Ini Alasannya}
Strategi membayar influencer media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan politik atau membuat konten sekarang sedang menjadi tren menjelang pilpres 2020. Sayangnya, aturan-aturan di sekitar praktik itu masih kabur. [SN/HBS]