Telset.id – Apa yang terjadi ketika seorang CEO baru mengambil alih perusahaan teknologi sebesar Intel? Jawabannya mungkin lebih revolusioner dari yang Anda bayangkan. Lip-Bu Tan, sang CEO baru, tidak hanya melakukan pemotongan biaya biasa, tetapi melakukan transformasi budaya dan struktur yang mendalam. Dalam konferensi Goldman Sachs Communacopia + Technology, Wakil Presiden Perencanaan Perusahaan dan Hubungan Investor Intel, John Pitzer, mengungkap strategi Tan yang disebutnya “sangat berbeda” dari pendahulunya.
Yang menarik, perubahan ini bukan sekadar soal angka dan efisiensi, melainkan menyentuh inti bagaimana Intel beroperasi. Menurut Pitzer, restrukturisasi yang dilakukan setahun lalu hanya berupa pemotongan biaya tanpa mengubah cara bisnis dijalankan. Namun, yang dilakukan Tan di kuartal kedua tahun ini jauh lebih radikal: memotong 11 lapisan manajemen menjadi separuhnya, menciptakan organisasi yang lebih datar dengan akuntabilitas lebih tinggi.
Pitzer menjelaskan bahwa target utama Tan adalah birokrasi Intel yang dianggapnya menghambat pengambilan keputusan. “Budaya organisasi lama dinilai terlalu lambat dan menghasilkan keputusan yang buruk,” ujarnya. Sebagai bagian dari perubahan budaya ini, Tan bahkan memberlakukan kebijakan kembali ke kantor yang mulai diterapkan pekan lalu.
Lalu, apa prioritas Intel ke depan? Menurut Pitzer, ada empat fokus utama: memperbaiki bisnis chip x86, mengembangkan strategi AI, membuat bisnis foundry operational, dan memperkuat neraca keuangan. Keempatnya saling terkait dan menjadi pondasi transformasi Intel di era AI.
Strategi AI: Bukan Sekedar Ikut Tren
Dalam paparannya, Pitzer menyebut Intel berhutang kepada investor untuk memberikan pandangan lebih mendalam tentang strategi AI mereka. Rincian lebih lengkap dijanjikan akan dibagikan pada laporan kuartal ketiga. Namun yang jelas, ambisi Tan untuk pertumbuhan melebihi kisaran 3-5% yang mungkin dicapai dari perbaikan bisnis x86 intel.
“Untuk mencapai aspirasi tersebut, kami harus memiliki footprint yang lebih besar di AI,” tegas Pitzer. Menariknya, Intel percaya bahwa ekosistem x86 mereka membawa nilai tambah di pasar AI, khususnya dalam inferensi dan efisiensi daya. Ini menjadi area dimana Intel merasa bisa menjadi disruptif.
Perkembangan AI memang sedang panas diperbincangkan. Seperti yang kami laporkan sebelumnya, AI coding assistant picu 10x lebih banyak masalah keamanan, menunjukkan bahwa adopsi AI tidak selalu mulus. Namun Intel tampaknya mengambil pendekatan berbeda dengan memanfaatkan kekuatan existing mereka.
Baca Juga:
14A: Teknologi Baru dari Nol
Salah satu pengumuman paling menarik adalah tentang proses manufaktur 14A Intel. Pitzer menegaskan bahwa 14A adalah teknologi yang benar-benar berbeda dari awal, karena melibatkan pelanggan eksternal sejak tahap pertama pengembangan. Pendekatan ini kontras dengan 18A dimana Intel baru melibatkan pelanggan eksternal di fase development.
“Kami aktif terlibat dengan pelanggan eksternal untuk mendefinisikan node tersebut dalam fase definisi,” jelas Pitzer. Hasilnya, Intel tidak hanya mungkin membuat 14A cocok untuk pelanggan eksternal, tetapi juga bisa mendiskusikan pilihan desain dengan pelanggan untuk produk yang akan dirilis pada H2 2026 atau H1 2027.
Keyakinan ini didasarkan pada dua faktor utama: kesiapan dan kematangan PDK (Process Design Kit), serta kurva hasil. Pitzer menyatakan Intel merasa sangat baik tentang perkembangan 14A mereka.
Bisnis Foundry: Break Even Tahun 2027
Target ambisius lainnya adalah membuat bisnis foundry mencapai break even pada akhir 2027. Strateginya adalah dengan meningkatkan produksi menggunakan teknologi manufaktur 18A, terutama dengan mengandalkan volume dari Intel Products sendiri.
“Kami tidak perlu melihat banyak pendapatan foundry eksternal untuk mencapai break even operasional pada akhir 2027,” kata Pitzer. Pernyataan ini penting karena menunjukkan keyakinan Intel pada kemampuan internal mereka, sekaligus strategi yang lebih realistis dibandingkan hanya mengandalkan pelanggan eksternal.
Transformasi digital dan adopsi teknologi AI memang sedang terjadi di berbagai sektor. Seperti yang terjadi di Telkomsel Solution Day 2025, inovasi AI dan 5G menjadi pendorong transformasi digital Indonesia. Intel, dengan strategi barunya, berusaha mengambil peran penting dalam ekosistem ini.
Strategi integrasi digital juga menjadi kunci, mirip dengan yang dilakukan Telkom Indonesia dalam memacu market share B2B ICT. Pendekatan holistic yang melihat dari hulu ke hilir menjadi tren yang diadopsi banyak perusahaan teknologi besar.
Dengan semua perubahan ini, pertanyaan besarnya adalah: apakah strategi Lip-Bu Tan akan membawa Intel kembali ke puncak? Jawabannya mungkin belum bisa dipastikan, tetapi yang jelas, Intel sedang melakukan transformasi paling radikal dalam sejarah recent mereka. Dari birokrasi yang lambat hingga organisasi yang gesit, dari ketergantungan pada x86 hingga diversifikasi ke AI dan foundry – semua bergerak simultan.
Yang pasti, dunia teknologi pantas menantikan chapter baru Intel di bawah kepemimpinan Tan. Apakah ini akan menjadi comeback story of the decade? Waktu yang akan menjawabnya.