Mengenal Cambridge Analytica dan Sepak Terjangnya

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Modus Operasi

Lalu, bagaimana cara beroperasi Cambridge Analytica? Data yang mereka gunakan dikumpulkan pada awal 2014 melalui aplikasi yang disebut “thisisyourdigitallife”.

Aplikasi ini dibangun oleh perusahaan Global Science Research (GSR) yang digawangi Aleksandr Kogan, seorang peneliti Rusia-Amerika di Universitas Cambridge.

Sekitar 270.000 pengguna Facebook setuju data mereka dikumpulkan dan digunakan untuk penelitian akademis dengan imbalan pembayaran kecil.

The Times melaporkan Cambridge Analytica harus merogoh kantong lebih dalam, yakni sekitar US$ 800.000 atau setara Rp 11 miliar untuk membuat aplikasi tersebut.

Baca juga: Facebook Belum Hapus Data Pengguna yang Dikloning

Namun, aplikasi ini ternyata tidak hanya mengumpulkan informasi pribadi dari orang-orang yang mengunduhnya, tetapi juga menyedot informasi teman-temannya yang tidak tahu.

Belakangan, Kogan mengungkapkan bahwa mereka berhasil mendapatkan lebih dari 50 juta pengguna Facebook yang “menyerahkan” data pribadi mereka ke Cambridge Analytica.

Data pengguna Facebook ini lalu digunakan untuk membuat 30 juta profil “psikografis”, yang kemudian dapat digunakan untuk merancang iklan politik bertarget.

Namun keterangan Kogan ini dibantah oleh pihak Cambridge Analytica. Mereka berkilah, telah menghapus semua data yang diterima dari perusahaan Kogan, ketika mengetahui itu melanggar kebijakan Facebook.

“Tidak ada data dari GSR yang digunakan oleh Cambridge Analytica sebagai bagian dari layanan yang disediakan untuk kampanye presiden Donald Trump di 2016,” katanya.

Disisi lain, Kogan merasa dikambinghitamkan oleh Facebook dan Cambridge Analytica.

“Jujur, kami berpikir telah bertindak dengan sangat tepat. Kami melakukan sesuatu yang benar-benar normal,” ketus Kogan kepada BBC pada Rabu pekan lalu.

The Observer juga mengungkapkan dugaan bahwa Cambridge Analytica telah bekerja dengan orang-orang yang dianggap sebagai kelompok peretas dari Israel. Namun mereka gagal mempengaruhi pemilih dalam Pilpres Nigeria 2015.

Sedangkan media lain mengangkat peran perusahaan itu dalam Pilpres Kenya, yang dimenangkan Uhuru Kenyatta.

Selain di AS dan Inggris, Cambridge Analytica juga ditengarai terlibat dalam pilpres di India dan telah berupaya menjangkau Partai Bharatiya Janata (BJP) dan Kongres, menjelang pemilihan umum 2019.

Rupanya, SCL juga melakukan trik kotor serupa di seluruh dunia. Menurut situsnya, SCL telah mempengaruhi pilpres di Italia, Latvia, Ukraina, Albania, Rumania, Afrika Selatan, Nigeria, Kenya, Mauritius, India, Indonesia, Thailand, Taiwan, Kolombia, Antigua, St. Vincent & the Grenadines, St. Kitts & Nevis, dan Trinidad & Tobago.

Proses Penyelidikan

Siapa menabur angin, dialah yang menuai badai. Kira-kira begitulah yang kini menimpa Cambridge Analytica.

Kini mereka sedang menghadapi penyelidikan oleh Parlemen dan regulator pemerintah Inggris, dengan tuduhan melakukan praktik ilegal pada kampanye “Brexit” di Inggris. Pihak berwenang Inggris menggerebek kantor Cambridge Analytica di London pada Jumat malam lalu.

Sementara di AS, Federal Trade Commission Amerika Serikat mengungkapkan bahwa awal pekan ini mereka menyelidiki praktik privasi Facebook.

Baca juga: Bos Facebook Siap “Disidang” Kongres soal Skandal Data

Pemasukan pundi-pundi mereka juga kena imbasnya. Tidak ada kampanye Amerika atau “PAC super” yang melaporkan membayar pekerjaan perusahaan ini pada pertengahan semester 2018.

Tidak jelas juga apakah organisasi ini akan diminta untuk bergabung dengan kampanye pemilihan kembali Trump.

Sementara itu, Nix berusaha mengubah citranya yang sudah terlanjur buruk, dengan menggunakan psikografi ke dunia periklanan. Dia memposisikan dirinya sebagai guru untuk era iklan digital dengan menaruh slogan “Manusia Matematika”. [WS/HBS]

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini


ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI