Telset.id, Jakarta – Pemerintah diminta untuk menunda pengesahan revisi PP PSTE atau Peraturan Pemerintah No.82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Menurut Ketua Masyarakat Telematika (Mastel), Kristiono, hal itu dilakukan untuk mengantisipasi dampak negatif yang akan muncul akibat adanya perubahan terhadap beberapa pasal dalam regulasi tersebut.
Ia mengatakan, revisi aturan itu dilakukan tanpa melibatkan para pemangku kepentingan, terutama Mastel dan asosiasi-asosiasi perusahaan di bidang terkait.
Padahal, revisi beberapa pasal dalam aturan tersebut dinilai bisa berdampak pada kelonggaran terhadap kewajiban lokalisasi data, terutama data tingkat tinggi akibat kurang memahami pengertian data.
“Sementara ini pemahaman data masih berbeda-beda diantara instansi terkait. Kalau revisi dilakukan sekarang, sangat beresiko pada pemahaman data,” katanya, dalam acara diskusi mengenai revisi PP PSTE di Jakarta, Selasa (7/11/2012).
“Makanya, kami minta pemerintah tunda dulu revisi PP No.82/2012 ini. Dahulukan UU perlindungan data pribadi,” lanjutnya.
Menurutnya, pemerintah sebaiknya mendahulukan penyelesaian UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang saat ini sudah masuk program legislasi nasional (Prolegnas), atau segera dibahas DPR untuk disahkan. Itu karena, aturan ini akan mengharmonisasi pengertian data yang menjadi fokus revisi tersebut.
Selain itu, Mastel juga menyoroti tingkatan regulasi yang dinilai hanya sebatas Peraturan Pemerintah (PP) saja. Ia berharap pemerintah bisa menaikkan level aturan itu hingga setingkat UU, supaya memiliki efek hukuman yang berat seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa, yang bisa menjerat perusahaan besar seperti Facebook dan Google.
“Nah, buat UU PDP dulu baru membuat UU Relaksasi Lokalisasi Data, apalagi data beresiko tinggi,” imbuh dia.
Ketua DPA Mastel, Betti S. Alisjahbana menambahkan, alasan Mastel meminta penundaan revisi PP No.82/2012 disahkan supaya aturan tersebut bisa dilihat secara keseluruhan. Dalam hal ini, pihaknya menyoroti definisi data tinggi yang harus diperbaiki karena bisa menimbulkan kesalahpahaman.
Mastel, kata dia, tidak melarang ada proses data tinggi diluar negeri, tetapi harus ada salinannya di Indonesia dan diserahkan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (kominfo).
Betti juga ingin supaya langkah tersebut mengatur secara rinci perusahaan asing yang bisa memproses data tinggi, termasuk mendaftarkan dan mengenakan pajak.
Jika tidak, maka iklim usaha pengelolaan data di dalam negeri akan tidak sehat karena perusahaan-perusahaan akan lebih memilih memproses data mereka ke perusahaan asing besar yang biayanya lebih murah karena tidak membayar pajak.
“Kami minta tunda pembahasan PP tersebut supaya bisa dilihat secara holistik,” pungkas dia. (WS/FHP)