Bayangkan jika jutaan baterai kendaraan listrik yang sudah tak terpakai bisa menjadi sumber energi untuk rumah, kendaraan kecil, bahkan seluruh kota. Mimpi ini bisa menjadi kenyataan—dengan satu syarat: produsen mau berbagi data vital tentang kondisi baterai tersebut.
Dunia sedang mengalami lonjakan penjualan kendaraan listrik. Tahun lalu, lebih dari 17 juta unit kendaraan listrik dan hybrid terjual. Tahun ini, angka itu diprediksi mencapai 20 juta. Namun, di balik tren positif ini tersembunyi tantangan baru: apa yang harus dilakukan dengan baterai-baterai raksasa ini ketika masa pakainya habis?
Rata-rata, baterai EV bertahan 12-15 tahun, meski data lapangan menunjukkan bisa 40% lebih lama. Dengan berat sekitar 450 kg per baterai, pada 2030 Australia saja diperkirakan akan memiliki 30.000 ton baterai bekas yang perlu didaur ulang. Angka ini melonjak menjadi 360.000 ton pada 2040 dan 1,6 juta ton pada 2050.
Baterai Bekas, Potensi Besar yang Terkunci
Ketika sebuah baterai EV dinyatakan “habis masa pakainya”, sebenarnya masih menyimpan 60-80% kapasitas aslinya. Artinya, baterai ini masih bisa digunakan untuk berbagai aplikasi lain sebelum benar-benar didaur ulang.
Baterai dengan kondisi baik (80% kapasitas atau lebih) bisa dipakai ulang untuk kendaraan listrik lain seperti skuter, sepeda listrik, atau mobil golf. Yang kapasitasnya 60-80% cocok untuk penyimpanan energi stasioner seperti cadangan listrik rumah. Bahkan jika dirangkai bersama, baterai-baterai ini bisa memasok energi untuk seluruh komunitas.
Masalah Utama: Data yang Tidak Terbuka
Sayangnya, potensi besar ini terkunci oleh satu masalah mendasar: kurangnya akses terhadap data baterai. Produsen kendaraan sering membuat sulit untuk mendapatkan informasi penting seperti:
- Seberapa cepat baterai mengalami degradasi
- Kondisi kesehatan baterai saat ini
- Komposisi material baterai
- Riwayat kecelakaan atau perawatan
Tanpa data ini, proses daur ulang atau penggunaan ulang menjadi penuh ketidakpastian. Baterai yang tidak diketahui kondisinya bisa berisiko terbakar saat dibongkar atau digunakan untuk aplikasi yang tidak sesuai.
Baca Juga:
Tantangan Daur Ulang yang Kompleks
EV battery mengandung mineral kritis seperti nikel, kobalt, lithium, dan mangan. Hampir 95% materialnya bisa didaur ulang. Namun prosesnya tidak sederhana:
Produsen merancang baterai dengan fokus pada performa dan keamanan, seringkali mengabaikan aspek daur ulang. Baterai biasanya disegel rapat, membuat ribuan sel individual di dalamnya sulit dibongkar. Proses pembongkaran menjadi sangat padat karya dan memakan waktu.
Selain itu, berbagai jenis kimia baterai—seperti lithium iron phosphate dan nickel manganese cobalt—sering tidak tercantum pada label, menyulitkan proses daur ulang yang tepat.
Solusi yang Mulai Bermunculan
Beberapa wilayah mulai mengambil langkah tegas. California telah mewajibkan produsen memberikan akses data kepada pendaur ulang. Uni Eropa akan menerapkan “paspor digital” untuk semua baterai EV mulai Januari 2027, berisi informasi kesehatan baterai, komposisi kimia, dan riwayat insiden.
Peneliti juga berhasil mengembangkan metode untuk memperkirakan kesehatan baterai bekas tanpa akses ke data aslinya. Namun akses ke data penggunaan akan memberikan estimasi yang jauh lebih akurat.
Dengan semakin banyaknya baterai EV yang akan mencapai akhir masa pakainya dalam beberapa tahun mendatang, kolaborasi antara produsen, regulator, dan industri daur ulang menjadi semakin mendesak. Tanpa perubahan kebijakan, kita berisiko memiliki gunungan baterai bekas tanpa solusi pengelolaan yang memadai.
Seperti dibahas dalam artikel Review Vivo V29 5G, teknologi terus berkembang pesat. Namun tanpa sistem pendukung yang matang, inovasi bisa terhambat oleh masalah yang sebenarnya bisa diantisipasi sejak awal.