Telset.id – Pemerintahan Donald Trump kembali menyoroti kebijakan ekonomi Indonesia, kali ini melalui laporan terbaru Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR). Dalam dokumen bertajuk “2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers”, AS menuding sistem pembayaran QRIS (Quick Response Indonesia Standard) dan maraknya produk bajakan di Mangga Dua sebagai penghambat perdagangan. Apa implikasinya bagi hubungan dagang kedua negara?
USTR secara khusus menyoroti kebijakan Bank Indonesia (BI) yang mewajibkan penggunaan QRIS untuk transaksi domestik. Menurut mereka, aturan ini berpotensi meminggirkan sistem pembayaran lintas batas (cross-border payment) yang dikelola perusahaan AS. “Pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu tentang perubahan potensial dalam sistem QRIS,” tulis USTR dalam laporannya. Kritik ini muncul di tengah upaya Indonesia memperkuat ekosistem pembayaran digital nasional.
QRIS dan GPN: Perlindungan atau Proteksionisme?
Laporan USTR menyebut, aturan Bank Indonesia tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) turut menjadi perhatian. BI mewajibkan semua transaksi kartu debit dan kredit ritel diproses melalui lembaga switching berlisensi yang berlokasi di Indonesia. Tak hanya itu, pembatasan ekuitas asing sebesar 20% bagi perusahaan yang ingin berpartisipasi dalam GPN dinilai membatasi kompetisi.
Peraturan BI Nomor 19/08/2017 dan 19/10/PADG/2017 memang secara eksplisit mengatur bahwa perusahaan asing harus bermitra dengan penyedia lokal untuk mengelola transaksi pembayaran dalam negeri. Bagi AS, kebijakan ini dianggap tidak transparan dan berpotensi menghambat inovasi fintech global di Indonesia. Namun, dari sisi BI, aturan ini justru dibutuhkan untuk melindungi kedaulatan sistem pembayaran nasional.
Mangga Dua: Surga Bajakan yang Tak Kunjung Padam
Selain isu pembayaran digital, USTR juga menyoroti maraknya produk bajakan di pusat perbelanjaan Mangga Dua, Jakarta. “Mangga Dua masih menjadi pusat perbelanjaan populer untuk barang bajakan, mulai dari tas, dompet, mainan, hingga pakaian,” tulis laporan tersebut. AS menilai pemerintah Indonesia kurang serius menangani masalah ini, dengan minimnya tindakan hukum terhadap para pelaku.
Ironisnya, Mangga Dua justru menjadi destinasi belanja favorit turis asing yang mencari produk branded dengan harga murah. USTR mendesak Indonesia untuk memperkuat penegakan hukum di pasar ini, termasuk melalui Satgas Penegakan Hukum Kekayaan Intelektual (HKI). Namun, akar masalahnya mungkin lebih dalam: permintaan pasar yang tinggi dan pengawasan yang longgar.
Laporan USTR ini muncul di tengah ketegangan dagang AS-Indonesia yang terus memanas. Sebelumnya, AS juga sempat mempertanyakan kebijakan mineral mentah Indonesia. Respons pemerintah Indonesia terhadap laporan terbaru ini patut ditunggu, terutama menyangkut dua isu sensitif: kedaulatan sistem pembayaran nasional dan penegakan hukum HKI. Bagaimana Indonesia akan menyeimbangkan kepentingan nasional dan tekanan dagang global?