Dalam tiga hari terakhir, pasar saham AS mengguncang dunia teknologi dengan penurunan tajam saham Apple. Perusahaan raksasa asal Cupertino itu kehilangan Rp 10.718 triliun (setara $638 miliar) dari kapitalisasi pasarnya. Apa penyebabnya? Kebijakan tarif impor Presiden Donald Trump yang mengancam dominasi Apple di pasar global.
Sejak Senin (7/4/2025), saham Apple terus merosot, ditutup turun 4,7% di Wall Street. Ini menjadi pukulan telak bagi perusahaan yang selama ini dianggap sebagai “kereta api uang” bagi investor. Padahal, Apple adalah satu-satunya dari “Magnificent Seven” (tujuh perusahaan teknologi terbesar AS) yang mengalami penurunan signifikan.
Lalu, mengapa Apple menjadi korban utama kebijakan Trump? Jawabannya terletak pada ketergantungan ekosistem produk Apple terhadap China—negara yang kini dikenai tarif impor hingga 54% oleh pemerintahan Trump. Meski Apple telah memindahkan sebagian produksinya ke India, Vietnam, dan Thailand, ancaman kenaikan harga dan gangguan rantai pasok tetap menghantui.
Dampak Langsung: Harga iPhone Bisa Naik 30%
Analis UBS memprediksi, iPhone kelas atas seperti Pro Series bisa mengalami kenaikan harga hingga $350 (sekitar Rp5,8 juta). Angka ini setara dengan 30% dari harga retail saat ini yang mencapai $1.199. Jika prediksi ini benar, konsumen harus merogoh kocek lebih dalam untuk memiliki iPhone terbaru.
Tim Long, analis Barclays, memberikan dua skenario bagi Apple:
- Menaikkan harga produk dan berisiko kehilangan daya saing
- Menanggung biaya tarif dan menerima penurunan laba per saham hingga 15%
Rantai Pasok dalam Pusaran Perang Dagang
Apple sebenarnya telah mempersiapkan diri dengan diversifikasi produksi ke luar China. Fasilitas di India, Vietnam, dan Thailand menjadi buktinya. Namun, Trump tak hanya menarget China—negara-negara tersebut juga terkena imbas kenaikan tarif sebagai bagian dari kebijakan proteksionis AS.
Para ahli memperkirakan Apple harus melakukan:
- Restrukturisasi mendalam rantai pasok global
- Mencari mitra produksi di negara dengan tarif lebih rendah
- Mengakselerasi pengembangan pabrik di AS dan Meksiko
Nasib Investor dan Masa Depan Apple
Penurunan 19% dalam tiga hari adalah alarm bagi investor. Sebagai perusahaan dengan valuasi tertinggi di dunia, guncangan pada Apple berdampak sistemik terhadap indeks Nasdaq yang hampir tak bergerak meski saham teknologi lain stabil.
Pertanyaan besarnya: apakah ini awal dari tren jangka panjang atau hanya koreksi sementara? Jawabannya tergantung pada kemampuan Apple beradaptasi dengan geopolitik yang semakin kompleks. Satu hal pasti—era ketergantungan pada China sebagai “pabrik dunia” sedang diuji.
Bagi konsumen, bersiaplah menghadapi dua kemungkinan: harga produk Apple yang lebih mahal atau penundaan peluncuran produk baru. Bagi investor, ini saatnya mempertimbangkan kembali strategi portofolio teknologi di tengah badai perang dagang yang belum jelas ujungnya.