Telset.id, Jakarta – Alasan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk melakukan revisi Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) atau soal data center dinilai tidak logis.
Hal ini dikatakan oleh Executive Director ICT Institute Heru Sutadi ketika ditemui awak media usai sidang class action Facebook di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (27/11).
Heru mengungkapkan, dia mendengar kabar jika salah satu alasan Kominfo untuk merevisi peraturan tersebut adalah untuk mengembangkan industri startup di Indonesia.
Tetapi, menurutnya, alasan tersebut amat terbalik dengan salah satu isi dari revisi peraturan tersebut yang kabarnya membolehkan data center berada di luar Indonesia.
“Kan alasannya macem-macemlah. Tapi alasan untuk membangun startup dalam negeri yang menurut saya gak logis. Karena justru kalau ingin membangun startup di dalam negeri bisa maju, harusnya data center disediakan di Indonesia agar traffic-nya gak perlu ke luar negeri,” ujar Heru.
Selain itu, peraturan tersebut hanya menguntungkan penyedia jasa data center atau cloud yang berada di luar negeri. “Ketika traffic ke luar negeri, devisa kita akan hilang dan yang diuntungkan orang luar dengan uang sewa segala macem,” imbuhnya.
Heru menyarankan, jika pun mau merevisi PP PSTE, harusnya justru menguatkan industri data center di Indonesia. Karena sejak tahun 2012, dia melihat bahwa investasi data center di Indonesia masih sangat lemah.
“Pendapat saya sih kebijkaan PP 82/2012 yang mewajibkan penempatan data center harus di Indonesia tetap diberlakukan, dan mungkin yang harus dilakukan pemerintah adalah mengubah invesment-nya saja agar lebih kuat lagi, jadi orang lebih terdorong membangun data center di Indonesia,” ujar Heru.
“Bukan malah sebaliknya membuka peluang penggunaan data center di negara lain dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal,” tambahnya.
Terakhir dirinya menduga jika ada tekanan dari pihak asing untuk peraturan ini. Pasalnya, data menjadi sumber daya yang memiliki nilai jual yang tinggi layaknya mineral atau minyak bumi, sehingga wajar diperebutkan banyak pihak.
“Kita lihat tekanan asing begitu kuat, dan kita sudah menengarai beberapa lembaga yang secara intens menekan pemerintah untuk mengubah kebijakan data center yang harusnya di Indonesia tapi dibolehkan di luar negeri,” tutur Heru.
Sebelumnya, para pelaku usaha Teknologi Informasi dan Komunikasi lokal juga menyuarakan ketidaksetujuannya soal draft revisi PP tersebut. Mereka menilai jika ada kepentingan pihak asing terkait draft revisi PP 82/2012.
Executive Director Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Arki Rifazka mengingatkan supaya lokalisasi pusat data bukan hanya soal kemudahan akses dalam proses hukum tetapi bagian dari kedaulatan negara atas warganya.
Warga negara membayar pajak misalnya bukan hanya untuk menjamin keamanan fisik tetapi juga keamanan non fisik termasuk diantaranya data digital mengenai warga negara.
“Jika terus dipaksakan relaksasi lokalisasi data, maka kekayaan kita akan mengalir ke luar negeri. Data itu adalah the next oil, kalau dibiarkan ditempatkan di luar artinya kita membiarkan harta itu ke luar Indonesia,” tegas Arki.
Perlu diketahui bahwa pelaku usaha TIK yang tergabung mengkritisi rencana draft revisi PP PSTE ini berasal dari berbagai elemen federasi dan organisasi masyarakat yang ada di Indonesia.
Selain Mastel, ada juga Indonesia Data Center Provider Organization (IDPRO), Asosisasi Cloud Computing Indonesia (ACCI), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII) dan Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia (Aspiluki). [NM/HBS]