Bayangkan jika avatar digital di video perusahaan bisa berbicara, bergerak, dan berekspresi layaknya manusia sungguhan. Itulah yang sedang diupayakan oleh Synthesia, perusahaan berbasis di Inggris yang baru saja mengumumkan kerja sama dengan Shutterstock. Kolaborasi ini memungkinkan akses ke jutaan konten video untuk melatih model AI terbaru mereka, EXPRESS-2. Tapi apa implikasinya bagi industri kreatif dan privasi individu?
Shutterstock bukanlah pemain baru dalam dunia pelatihan AI. Sebelumnya, mereka telah bermitra dengan OpenAI untuk melisensikan gambar stok yang digunakan dalam DALL-E 2. Kini, giliran Synthesia yang memanfaatkan konten video untuk meningkatkan kemampuan avatar digital mereka. Menurut pernyataan resmi, tujuan utamanya adalah meningkatkan realisme dan ekspresivitas avatar, mendekati performa manusia asli.
Lantas, bagaimana cara kerja kolaborasi ini, dan mengapa hal ini menjadi sorotan di era di mana etika AI semakin diperdebatkan?
Mengintip Teknologi di Balik Avatar Synthesia
Synthesia dikenal sebagai penyedia solusi avatar digital untuk konten korporat, mulai dari pelatihan keamanan siber hingga tutorial komunikasi di tempat kerja. Biasanya, perusahaan ini menggunakan aktor sungguhan untuk membuat avatar, dengan membayar hak penggunaan wajah mereka selama tiga tahun. Namun, dengan akses ke perpustakaan video Shutterstock, Synthesia kini bisa mempelajari gerakan tubuh, nada suara, hingga ekspresi wajah dari berbagai situasi—misalnya, cara seseorang duduk di meja kerja atau menggunakan papan tulis.
Meski tidak secara langsung menggunakan wajah orang-orang dalam video Shutterstock, data mereka tetap menjadi bahan pelatihan AI. Ini memunculkan pertanyaan: sejauh mana penggunaan konten semacam ini etis, terutama tanpa persetujuan eksplisit dari individu yang terlibat?
Dilema Etika dalam Pelatihan AI
Kolaborasi Synthesia dan Shutterstock hanyalah satu dari banyak contoh perusahaan yang melisensikan konten mereka untuk pelatihan AI. Sebelumnya, media seperti DotDash Meredith, Time, dan Reuters juga melakukan hal serupa. Bedanya, Synthesia berfokus pada video, bukan teks atau gambar.
Bagi Shutterstock, langkah ini bisa menjadi sumber pendapatan baru di tengah persaingan ketat di industri stok konten. Namun, bagi kreator dan subjek dalam video, ini mungkin menimbulkan kekhawatiran. Meski Synthesia menegaskan bahwa mereka tidak akan menggunakan wajah orang secara langsung, penggunaan gerakan dan suara tetap menimbulkan tanda tanya tentang batasan privasi.
Masa Depan Konten Digital: Lebih Realistis atau Lebih Kontroversial?
Dengan semakin canggihnya teknologi AI, avatar digital seperti yang dikembangkan Synthesia berpotensi mengubah cara perusahaan membuat konten. Video pelatihan, presentasi, bahkan iklan bisa dihasilkan dengan biaya lebih rendah dan waktu lebih singkat. Namun, di sisi lain, isu hak cipta dan privasi tetap menjadi tantangan besar.
Pertanyaannya sekarang: apakah industri siap dengan perubahan ini? Dan yang lebih penting, apakah regulasi yang ada cukup kuat untuk melindungi hak-hak individu di era di mana data manusia menjadi bahan baku AI?
Kolaborasi Synthesia dan Shutterstock mungkin hanya awal dari gelombang besar perubahan di dunia konten digital. Yang pasti, diskusi tentang etika dan transparansi dalam pengembangan AI harus terus digaungkan—sebelum teknologi ini melangkah terlalu jauh tanpa rambu yang jelas.