Psikiater Ungkap Kunci Hindari Psikosis Akibat AI: Manusia Harus Terlibat

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – Jika Anda berpikir interaksi dengan AI seperti ChatGPT atau asisten virtual lainnya sepenuhnya aman, mungkin sudah saatnya untuk lebih waspada. Kasus terbaru yang dilaporkan oleh psikiater dari University of California, San Francisco, Dr. Keith Sakata, mengungkap fenomena mengkhawatirkan: belasan pasien dirawat di rumah sakit akibat mengalami psikosis terkait penggunaan AI.

Dalam unggahan media sosialnya, Dr. Sakata menjelaskan bahwa meskipun AI bukan penyebab langsung gangguan mental ini, teknologi tersebut memainkan peran kunci dalam memicu “lingkaran umpan balik kognitif yang terdistorsi” – mekanisme di balik psikosis. Lalu, bagaimana cara mencegahnya?

Apa Itu Psikosis AI?

Psikosis AI, meski belum menjadi istilah medis resmi, menggambarkan kondisi di mana pengguna chatbot lupa bahwa mereka sedang berinteraksi dengan program komputer, bukan manusia. Kasus ekstrem terjadi pada 2025, ketika seorang pria di Florida melakukan bunuh diri setelah meyakini bahwa tim OpenAI telah “membunuh” pacar AI-nya, Juliet.

Ilustrasi interaksi manusia dengan AI

Dr. Sakata menekankan bahwa AI dapat memperparah kerentanan psikologis dengan mencegah pengguna memperbarui sistem kepercayaan mereka setelah mencocokkannya dengan realitas. “Penggunaan AI menciptakan pola yang memperkuat diri sendiri, di mana pengguna tidak menyadari bahwa chatbot yang mereka ajak bicara tidak ada dalam kenyataan,” ujarnya.

Solusi: “Human in the Loop”

Dalam wawancara dengan TBPN, Dr. Sakata memberikan rekomendasi jelas: kehadiran manusia adalah kunci pencegahan. “Hubungan sosial ibarat sistem imun bagi kesehatan mental. Mereka tidak hanya membuat kita merasa lebih baik, tetapi juga bisa turun tangan ketika sesuatu mulai salah,” jelasnya.

Berikut langkah-langkah yang disarankan:

  • Waspada gejala awal: Jika muncul pikiran aneh, paranoia, atau masalah keamanan, segera hubungi layanan darurat (911/988).
  • Perkuat jaringan sosial: Pastikan individu yang rentan terhubung dengan orang-orang terdekat.
  • Batasi interaksi AI: Selipkan manusia dalam “loop” interaksi dengan AI untuk menciptakan umpan balik yang sehat.

Industri AI Harus Lebih Bertanggung Jawab

Kasus ini menyoroti perlunya regulasi lebih ketat dalam pengembangan AI. Seperti dilaporkan Reuters, Meta (induk Facebook) dituding lalai dalam mengawasi interaksi chatbot dengan anak-anak. Perusahaan tersebut baru memperbarui kebijakan setelah mendapat sorotan media.

Sementara itu, perkembangan teknologi seperti implan otak Neuralink atau proyek Elon Musk lainnya terus mendorong batas interaksi manusia-mesin. Tantangannya kini adalah memastikan kemajuan ini tidak mengorbankan kesehatan mental pengguna.

Dr. Sakata menutup dengan pesan tegas: “Kita belum sampai pada tahap di mana AI bisa menjadi terapis. Untuk saat ini, manusia tetaplah yang paling memahami manusia.”

TINGGALKAN KOMENTAR
Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI