Telset.id – Tren penipuan pengembalian dana (refund) dengan memanfaatkan gambar yang dihasilkan kecerdasan buatan (AI) dilaporkan meningkat secara global. Modus ini memanfaatkan kemudahan akses alat pembuat gambar AI untuk memalsukan bukti kerusakan barang, menipu penjual di platform e-commerce.
Kasus serupa telah banyak ditemukan di China, tempat para penjual di media sosial seperti RedNote dan Douyin mengeluhkan klaim pengembalian dana yang mencurigakan. Gambar-gambar yang dikirim pelanggan sering kali menunjukkan kejanggalan, seperti karakter China pada label pengiriman yang tidak masuk akal atau retakan pada cangkir keramik yang terlihat seperti sobekan kertas. Kategori produk yang paling sering disalahgunakan meliputi bahan makanan segar, produk kecantikan murah, dan barang-barang rapuh seperti cangkir.
Michael Reitblat, CEO dan salah satu pendiri perusahaan deteksi penipuan Forter yang berbasis di New York, mengonfirmasi tren global ini. “Tren ini dimulai pada pertengahan 2024, tetapi telah meningkat pesat selama setahun terakhir seiring dengan alat pembuat gambar yang menjadi sangat mudah diakses dan digunakan,” ujarnya. Forter memperkirakan penggunaan gambar yang dimanipulasi AI dalam klaim pengembalian dana telah meningkat lebih dari 15% sejak awal tahun dan terus naik.
Kasus Nyata dan Respons Hukum
Salah satu kasus yang mendapat perhatian luas melibatkan seorang penjual kepiting hidup di Douyin, Gao Jing. Ia menerima foto dan video dari seorang pembeli yang menunjukkan sebagian besar kepiting yang dibeli sudah mati dalam perjalanan. Namun, pengalamannya selama 30 tahun beternak kepiting membuatnya curiga. “Keluarga saya telah beternak kepiting selama lebih dari 30 tahun. Kami belum pernah melihat kepiting mati dengan kaki mengarah ke atas,” kata Gao dalam sebuah video.
Kecurigaannya terbukti benar. Analisis lebih lanjut menunjukkan ketidaksesuaian jenis kelamin dan jumlah kaki kepiting dalam video yang berbeda. Kasus ini dilaporkan kepada polisi, yang kemudian memastikan video tersebut palsu. Pelaku ditahan selama delapan hari, menjadikan ini salah satu kasus penipuan refund berbasis AI pertama di China yang mendapat respons hukum. Insiden ini menunjukkan betapa canggihnya penipuan digital saat ini, yang bahkan memerlukan kewaspadaan ekstra dari penegak hukum. Seperti yang telah diperingatkan oleh FBI, penipuan yang memanfaatkan teknologi AI semakin beragam dan sulit dideteksi.
Baca Juga:
Skala yang Terorganisir dan Tantangan Deteksi
Menurut Reitblat, masalahnya tidak hanya dilakukan oleh individu. Kelompok kejahatan terorganisir juga menggunakan taktik serupa untuk melakukan penipuan pengembalian dana dalam skala besar. Dalam satu kasus, para penipu mengajukan klaim pengembalian dana senilai lebih dari satu juta dolar AS menggunakan gambar yang diubah AI untuk menunjukkan retakan atau penyok pada berbagai barang rumah tangga. Klaim-klaim diajukan dalam waktu singkat untuk membebani sistem, dengan menggunakan alamat IP yang berganti-ganti untuk menyembunyikan identitas.
Kelemahan sistem verifikasi manual memperparah situasi. Reitblat menambahkan bahwa AI tidak harus sempurna dalam membuat gambar, karena pekerja ritel dan tim peninjau refund seringkali tidak punya waktu untuk memeriksa setiap gambar secara detail. Tekanan ini membuat platform rentan terhadap serangan terkoordinasi. Upaya pencegahan penipuan skala besar seperti ini juga menjadi perhatian platform lain, sebagaimana upaya App Store yang berhasil mencegah penipuan senilai triliunan rupiah.
Beberapa penjual mulai melawan dengan menggunakan AI juga. Seorang penjual mainan di China menunjukkan kepada WIRED bagaimana mereka memasukkan permintaan pengembalian dana ke chatbot AI untuk dianalisis apakah fotonya telah dimanipulasi. Namun, alat-alat ini masih jauh dari sempurna. Selain itu, bahkan dengan konfirmasi dari chatbot, platform e-commerce tidak selalu memihak penjual.
Reitblat memperingatkan bahwa pedagang mungkin akhirnya merespons dengan memperketat kebijakan pengembalian mereka, tetapi langkah itu justru dapat merugikan pengalaman belanja pelanggan yang bertindak dengan itikad baik. Dilema ini mencerminkan masalah mendasar: e-commerce sangat bergantung pada kepercayaan, dan ketersediaan luas AI membuat semakin sulit untuk berasumsi bahwa mayoritas orang adalah aktor yang jujur. Pengamanan yang ada, seperti watermark AI, sering kali terlalu mudah dihilangkan.
Jika platform belanja ingin sistem yang dibangun untuk manusia tetap bekerja, mereka perlu mencari cara untuk merespons, baik dengan aturan verifikasi baru, kebijakan pengembalian yang direvisi, atau mekanisme akuntabilitas yang lebih baik untuk penipuan yang dibantu AI. Ancaman penipuan digital yang terus berevolusi ini memerlukan kewaspadaan dari semua pihak, termasuk konsumen yang harus waspada terhadap berbagai modus, seperti peningkatan SMS penipuan yang menggunakan fake BTS.

