OpenAI Dituduh Paranoid dan Kejar Lawan dengan Subpoena

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – OpenAI, perusahaan di balik ChatGPT, dituduh menunjukkan perilaku paranoid dengan mengirimkan subpoena kepada sejumlah organisasi nirlaba keselamatan AI. Langkah ini diambil menyusul transisi perusahaan dari nirlaba ke struktur for-profit, yang memicu berbagai penentangan termasuk dari pendiri Elon Musk.

Menurut laporan San Francisco Standard, OpenAI telah mengirimkan permintaan dokumen hukum kepada setidaknya tiga organisasi nirlaba yang fokus pada tata kelola AI. Salah satunya adalah Encode Justice, yang diwakili oleh penasihat umum Nathan Calvin. Calvin mengungkapkan keterkejutannya ketika menerima subpoena dari OpenAI melalui seorang petugas sherif di Washington, DC.

“Saya hanya berpikir, ‘Wow, mereka benar-benar melakukan ini,'” kata Calvin kepada San Francisco Standard. “‘Ini benar-benar terjadi.'” Subpoena tersebut menuntut Encode Justice untuk memberikan informasi tentang keterlibatan Musk dalam pendirian OpenAI dan komunikasi dengan Mark Zuckerberg, CEO Meta.

Latar Belakang Konflik

Konflik ini berawal dari keputusan OpenAI untuk beralih dari struktur nirlaba ke for-profit pada 2024. Musk, yang merupakan salah satu pendiri awal, menggugat perusahaan dengan alasan pengabaian misi awal untuk mengembangkan AI bagi kemanusiaan, bukan keuntungan finansial. Gugatan ini juga menyusul penolakan Altman terhadap tawaran akuisisi senilai hampir $100 miliar dari Musk sebelumnya.

OpenAI melalui pengacara Ann O’Leary membela tindakan mereka dengan menyatakan bahwa subpoena bertujuan untuk mengungkap “penyandang dana yang memegang saham langsung di perusahaan pesaing,” termasuk Musk, Zuckerberg, dan investor Anthropic seperti Dustin Moskovitz dan Pierre Omidyar. “Ini tentang transparansi mengenai siapa yang mendanai organisasi-organisasi ini,” tegas O’Leary.

Dampak pada Organisasi Kecil

Bagi organisasi kecil seperti Encode Justice, tekanan dari OpenAI menimbulkan beban signifikan. Calvin mengakui bahwa proses hukum ini menguras waktu dan sumber daya yang seharusnya dapat dialokasikan untuk misi organisasi. “Ini melelahkan bagi organisasi kecil, dan bagi saya secara pribadi, untuk menghabiskan banyak waktu berurusan dengan pengacara dan menanggapi wartawan tentang tuduhan yang konyol dan palsu,” ujarnya.

OpenAI juga menargetkan kelompok nirlaba lain yang mendukung RUU California yang sempat diusulkan untuk memblokir transisi for-profit perusahaan. Meskipun RUU tersebut akhirnya dibatalkan, OpenAI tetap memandang kelompok-kelompok ini sebagai bagian dari konspirasi yang lebih besar.

Calvin menyimpulkan bahwa OpenAI tampaknya terjebak dalam “gelembung paranoid” di tengah tekanan dari Meta yang berusaha merekrut karyawan mereka dan Musk yang dianggap ingin menjatuhkan perusahaan. “Saya pikir mereka hanya melihat konspirasi dan bayangan musuh mereka di tempat-tempat yang sebenarnya tidak ada,” tambahnya.

Perkembangan terbaru ini terjadi dalam konteks yang lebih luas di mana Sam Altman terus memperingatkan tentang batasan ChatGPT sambil memimpin perusahaan melalui transformasi besar-besaran. Sementara itu, perubahan struktur kepemimpinan di OpenAI juga terus berlanjut dengan penunjukan Fidji Simo sebagai CEO divisi aplikasi.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, OpenAI tetap menjadi salah satu perusahaan AI paling bernilai di dunia. Namun, ekspansi ke bidang baru seperti antarmuka otak-komputer menunjukkan bahwa perusahaan tidak berhenti berinovasi meski di tengah kontroversi.

Dampak jangka panjang dari tindakan hukum OpenAI terhadap organisasi nirlaba masih harus dilihat. Namun, yang jelas, insiden ini mencerminkan ketegangan yang semakin meningkat dalam ekosistem AI antara kepentingan komersial dan nilai-nilai keselamatan yang menjadi fondasi awal pengembangan teknologi ini.

ARTIKEL TERKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI