Telset.id – Dua tahun lalu, Klarna, layanan buy now pay later (BNPL) asal Swedia, dengan bangga mengumumkan akan mengganti sebagian besar tenaga manusia dengan chatbot AI. Kini, mereka justru membuka lowongan besar-besaran untuk customer service manusia. Apa yang salah dengan strategi “all-in AI” mereka?
CEO Klarna Sebastian Siemiatkowski mengakui kesalahan fatal perusahaan: terlalu fokus pada penghematan biaya hingga mengorbankan kualitas layanan. “Investasi pada kualitas dukungan manusia adalah jalan ke depan kami,” ujarnya kepada Bloomberg, menandai perubahan drastis dari retorika AI-nya di 2023.
AI vs. Kepuasan Pelanggan: Pertarungan yang Sudah Bisa Ditebak
Klarna pernah mengklaim chatbot mereka menggantikan 700 agen manusia dan menangani dua pertiga percakapan layanan pelanggan. Tapi data berbicara lain: 81% konsumen lebih memilih antri untuk dilayani manusia ketimbang chatbot, menurut riset terbaru. Gartner bahkan menemukan dua pertiga pelanggan menolak layanan berbasis AI.
“Ini seperti restoran yang mengganti semua koki dengan mesin microwave—cepat dan murah, tapi rasa? Jangan harap,” komentar seorang analis fintech yang enggan disebutkan namanya. Masalahnya, seperti diungkap dalam studi terbaru, AI seringkali tidak memiliki jawaban komprehensif untuk masalah spesifik pelanggan.
Baca Juga:
Model “Uberisasi” Layanan Pelanggan: Solusi atau Masalah Baru?
Klarna berencana merekrut staf layanan pelanggan secara remote dengan model “seperti Uber”—istilah halus untuk pekerja kontrak tanpa benefit penuh. Target mereka? Mahasiswa dan warga pedesaan yang mungkin kurang memiliki pilihan pekerjaan.
“Ini solusi setengah hati,” kritik pengamat ketenagakerjaan Digital Rights Watch. “Mereka menyadari kebutuhan manusia tapi tidak mau berinvestasi penuh pada kesejahteraan karyawan.” Padahal, seperti terungkap dalam kasus chatbot DeepSeek, kualitas interaksi sangat bergantung pada kualitas sumber daya di baliknya.
Pelajaran dari Klarna jelas: AI bisa menjadi alat pendukung, tapi bukan pengganti total empati dan kreativitas manusia. Apakah perusahaan lain akan belajar dari kesalahan ini, atau tetap nekat mengejar efisiensi semu dengan mengorbankan kepuasan pelanggan?