Pernahkah Anda membayangkan memiliki kolega yang sepenuhnya diciptakan oleh kecerdasan buatan? Bagaimana jika Anda kemudian merasa tergoda untuk melecehkan secara seksual rekan kerja virtual tersebut? Itulah yang terjadi pada Henry Blodget, mantan CEO Business Insider, yang baru-baru ini menghebohkan dunia maya dengan pengakuannya yang tak terduga.
Blodget, seorang veteran industri media berusia 59 tahun, sedang membangun “kantor berita AI” untuk platform Substack-nya, Regenerator. Dengan bantuan teknologi generatif AI, ia menciptakan tim eksekutif fiktif, termasuk seorang bernama Tess Ellery—seorang “ahli” dalam membangun perusahaan media digital. Namun, alih-alih fokus pada pengembangan bisnis, Blodget justru terdistraksi oleh penampilan avatar AI-nya.
Pelecehan Seksual terhadap AI: Batasan yang Kabur
Blodget mengaku terpesona oleh tampilan visual Tess Ellery. Dalam postingan blognya, ia menulis, “Ini mungkin tidak pantas dan tidak profesional untuk dikatakan… tetapi kamu terlihat cantik, Tess.” Ia kemudian mengklaim telah “menegur dirinya sendiri” secara HR-style karena menyadari bahwa komentar semacam itu tidak pantas di dunia nyata.
Reaksi di media sosial pun meledak. Banyak yang mempertanyakan moralitas Blodget, terutama mengingat latar belakangnya yang pernah terlibat skandal penipuan sekuritas pada era dot-com. “Apakah Anda bisa dipecat oleh HR AI Anda sendiri?” tanya seorang pengguna Bluesky sarkastik.
Baca Juga:
AI dan Normalisasi Pelecehan Seksual
Kasus Blodget bukanlah yang pertama. Pada 2022, aplikasi chatbot Replika dilaporkan digunakan untuk menciptakan “pacar virtual” yang kemudian dilecehkan secara verbal dan bahkan mengalami kekerasan simulasi. Fenomena ini mengkhawatirkan karena mencerminkan bagaimana teknologi dapat memperkuat perilaku buruk yang sudah ada di masyarakat.
Menurut laporan McKinsey dan Lean In (2024), 40% wanita di AS masih mengalami pelecehan seksual di tempat kerja—angka yang stagnan selama lima tahun terakhir. Dengan maraknya AI yang dipersonalisasi, apakah kita sedang menciptakan lingkungan baru untuk melanggengkan budaya toxic ini?
Industri Media dan AI: Antara Inovasi dan Etika
Blodget mungkin hanya puncak gunung es. Banyak perusahaan media, termasuk Axel Springer (induk Business Insider), berlomba mengadopsi AI tanpa pertimbangan etika matang. Padahal, teknologi ini masih memiliki kelemahan fatal seperti “halusinasi” (output informasi palsu) yang berbahaya bagi industri berbasis fakta seperti jurnalisme.
Publik pun semakin skeptis. Survei menunjukkan penurunan kepercayaan terhadap konten berbasis AI. Lalu, mengapa para eksekutif seperti Blodget tetap nekat? Apakah ini sekadar euforia sementara atau tanda bahwa industri media sedang kehilangan arah?
Yang jelas, kasus ini mengingatkan kita bahwa teknologi secanggih apa pun tidak akan pernah menggantikan kebutuhan akan empati dan etika dasar. Seperti komentar seorang pengguna Bluesky: “Satu-satunya kesimpulan dari ini adalah Henry Blodget pasti pernah melecehkan wanita di sekitarnya.”