Telset.id – Apakah Anda khawatir bahwa lonjakan investasi di bidang kecerdasan buatan (AI) saat ini hanyalah gelembung spekulatif yang akan segera meletus? Tenang, menurut analis Goldman Sachs, ketakutan itu berlebihan. Laporan terbaru dari raksasa investasi tersebut justru menyatakan bahwa boom AI masih berada di tahap awal, dengan potensi ekonomi yang jauh lebih besar daripada yang telah terealisasi sejauh ini.
Dalam laporan yang dirilis pada Rabu (15/10/2025), para analis Goldman Sachs dengan tegas membantah narasi tentang gelembung AI. Mereka berargumen bahwa pengeluaran untuk teknologi ini masih terhitung sangat modest, bahkan boleh dibilang “kecil”, jika dibandingkan dengan potensi ekonomi jangka panjang yang diusungnya. Lantas, seberapa kecil? Menurut perhitungan mereka, investasi terkait AI di Amerika Serikat saat ini menyumbang kurang dari 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut. Angka ini menjadi sangat menarik ketika kita bandingkan dengan era boom teknologi sebelumnya.
Bayangkan, pada masa kejayaan rel kereta api, elektrifikasi, dan bahkan internet, investasi di sektor-sektor tersebut pernah mencapai puncaknya di kisaran 2% hingga 5% dari PDB. Artinya, ruang untuk pertumbuhan investasi AI masih sangat, sangat luas. Goldman Sachs memproyeksikan bahwa investasi AI global akan melonjak hingga mencapai $300 miliar, atau setara dengan sekitar Rp 4.740 triliun (asumsi kurs Rp 15.800 per dolar AS), pada tahun 2025. Sebuah angka yang fantastis, bukan?
Dua Pilar Optimisme Goldman Sachs
Lalu, apa yang menjadi dasar keyakinan kuat Goldman Sachs terhadap masa depan AI? Analisis mereka bertumpu pada dua pilar utama yang saling berkaitan. Pertama, dan yang paling konkret, adalah bahwa implementasi AI di berbagai sektor yang sudah ada saat ini telah menghasilkan peningkatan produktivitas yang terukur dan signifikan. AI bukan lagi sekadar konsep futuristik; ia sudah bekerja, mengoptimalkan proses, dan menciptakan nilai ekonomi riil hari ini.
Pilar kedua, yang sekaligus menjadi pembenaran untuk gelombang investasi besar-besaran di infrastruktur, adalah bahwa semua keuntungan produktivitas ini bergantung pada infrastruktur komputasi skala besar. Inilah yang mendorong dan membenarkan investasi masif yang kita lihat saat ini di bidang chip, server, dan pusat data. Tanpa fondasi komputasi yang kokoh, mustahil bagi AI untuk menyampaikan janji-janjinya. Hal ini juga selaras dengan tren investasi teknologi yang kita amati, seperti yang terjadi pada investasi Rp37 Triliun dari Dubai untuk pusat data yang disambut baik oleh pemerintah Indonesia.
Baca Juga:
Potensi Ekonomi yang Menggiurkan dan Sisi Gelap yang Perlu Diwaspadai
Proyeksi Goldman Sachs tentang dampak ekonomi AI sungguh mencengangkan. Mereka memperkirakan bahwa AI generatif, jenis AI yang mampu menciptakan konten baru, pada akhirnya dapat menambahkan nilai hingga $20 triliun (sekitar Rp 3.160 kuadriliun) ke dalam perekonomian AS. Dari jumlah yang hampir tak terbayangkan ini, sekitar $8 triliun (sekitar Rp 126,4 kuadriliun) diproyeksikan akan mengalir ke bisnis sebagai pendapatan modal. Bayangkan dampak riilnya terhadap valuasi perusahaan dan pasar modal global.
Lebih lanjut, bank investasi ini memproyeksikan bahwa produktivitas tenaga kerja bisa meningkat hingga 15% dalam dekade mendatang, asalkan alat-alat AI telah diadopsi secara luas. Ini adalah lompatan efisiensi yang dapat merevolusi cara kita bekerja dan berproduksi. Namun, di balik optimisme yang berlimpah, laporan Goldman Sachs juga tidak menutup mata terhadap sebuah risiko historis yang patut diwaspadai.
Risiko tersebut adalah ketidakpastian: apakah perusahaan-perusahaan yang saat ini paling getol berinvestasi dalam AI akan menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam jangka panjang? Sejarah siklus infrastruktur teknologi mengajarkan kita pelajaran yang berharga. Seringkali, para pelopor awal justru yang membangun sistem dengan biaya sangat mahal, yang kemudian diakuisisi dengan harga miring oleh pendatang baru yang lebih sukses di kemudian hari. Pola ini terlihat jelas dalam pengembangan jaringan rel kereta api dan fiber optik.
Dalam konteks AI, dua faktor utama yang dapat memicu ulangan sejarah ini adalah depresiasi perangkat keras AI yang sangat cepat dan laju perkembangan model perangkat lunak AI yang begitu dinamis. Perangkat keras yang mahal hari ini bisa menjadi usang dalam hitungan tahun, bahkan bulan. Situasi ini mengingatkan kita pada dinamika persaingan sengit di tingkat pengembang model AI, seperti yang terjadi pada keputusan OpenAI untuk memutus kerja sama dengan Scale AI pasca investasi dari Meta, yang menunjukkan betapa fluktuatifnya aliansi strategis di industri ini.
Lanskap Kompetisi yang Semakin Panas
Sementara Goldman Sachs memberikan analisis makro, di lapangan, persaingan untuk mendominasi masa depan AI semakin memanas. Berita terkini mengonfirmasi hal ini. Google, misalnya, baru saja memperkenalkan model Gemini 2.5 Computer Use, yang diklaim memiliki kemampuan menjelajah web layaknya manusia dan interaksi real-time. Ini adalah lompatan signifikan dalam membuat AI lebih kontekstual dan terintegrasi dengan ekosistem digital kita.
Di sisi lain, tidak mau ketinggalan, Alibaba dari China juga telah meluncurkan model AI raksasa dengan parameter mencapai 1 triliun. Model ini jelas dirancang untuk menyaingi skala dan performa ChatGPT dari OpenAI dan Gemini dari Google. Perlombaan senjata AI ini menunjukkan bahwa keyakinan terhadap potensi jangka panjang teknologi ini tidak hanya dimiliki oleh analis keuangan, tetapi juga oleh para pemain teknologi terbesar di dunia. Gelombang investasi ini bahkan menarik perhatian pemimpin dunia, seperti pertanyaan yang diajukan oleh Xi Jinping mengenai gelombang investasi AI dan EV di China, yang mencerminkan kompleksitasnya dari sudut pandang geopolitik dan regulasi.
Jadi, apa kesimpulannya? Meskipun ada bayang-bayang risiko historis tentang siklus infrastruktur, Goldman Sachs tetap percaya bahwa lingkungan saat ini masih mendukung untuk investasi AI lebih lanjut. Mereka memperkirakan pengeluaran akan stabil seiring waktu, terutama ketika industri mulai bergerak melampaui fase pembangunan infrastruktur besar-besaran dan harga perangkat keras mengalami penurunan. Intinya, kita mungkin belum sampai di puncak gunung, tetapi pendakian yang menjanjikan ini baru saja dimulai. Dan seperti halnya dalam setiap revolusi teknologi, akan selalu ada perusahaan yang meraih emas, dan ada pula yang hanya membawa pulang batu. Tantangannya adalah memastikan bahwa strategi investasi dan inovasi kita berada di sisi yang tepat dari sejarah.