Telset.id – Ketika Disney dan OpenAI mengumumkan kemitraan tiga tahun, banyak yang melihatnya sebagai langkah pragmatis: raksasa hiburan membuka perbendaharaan karakternya untuk teknologi AI terdepan. Tapi, jika Anda berpikir ini sekadar transaksi lisensi biasa, Anda mungkin melewatkan permainan catur yang jauh lebih besar. Di balik senyum Mickey Mouse dan janji konten AI yang memukau, tersembunyi upaya Disney untuk mengendalikan masa depan hak cipta di era yang mulai lepas dari genggamannya.
Pengumuman itu sendiri terdengar monumental. Mulai 2026, ChatGPT dan Sora—model AI generatif video OpenAI—akan dapat menghasilkan gambar dan video yang menampilkan lebih dari 200 karakter ikonik dari jagat Star Wars, Pixar, dan Marvel. Disney+ akan menjadi tuan rumah bagi video-video hasil Sora yang “dikurasi”. Nilainya? Sekitar $1 miliar investasi dari Disney. Namun, jika Anda menyelami lebih dalam, ada aroma ketidakseimbangan yang kuat. Seolah-olah Disney, sang jagal hak cipta yang legendaris, justru sedang berjabat tangan dengan entitas yang filosofinya kerap berbenturan dengan tembok yang dibangun Disney selama puluhan tahun.
Mari kita lihat track record kedua pihak. OpenAI, di satu sisi, memiliki riwayat yang ambivalen terhadap hak cipta. Perusahaan pernah mengakui dalam dokumen regulasi bahwa “mustahil melatih model AI terkemuka saat ini tanpa menggunakan materi berhak cipta.” Bahkan, sebelum meluncurkan Sora, kabarnya mereka memberi tahu studio dan agen bakat bahwa mereka harus “memilih keluar” jika tidak ingin karya mereka digunakan—kebijakan yang kemudian ditarik kembali setelah mendapat kecaman. Ini adalah pendekatan “lebih baik minta maaf daripada minta izin” yang juga terlihat dalam pertarungan serupa antara Meta dan para penulis.
Di sisi lain, Disney bukan sekadar perusahaan yang “menghormati” hak cipta. Anda bisa berargumen bahwa tidak ada entitas lain yang lebih berpengaruh dalam membentuk undang-undang hak cipta AS daripada Disney. Ingat “Sonny Bono Copyright Term Extension Act”? UU itu lebih dikenal sinis sebagai “Mickey Mouse Protection Act”, yang secara efektif membekukan perluasan domain publik di AS. Disney adalah penerima manfaat terbesarnya. Baru tahun lalu hak cipta untuk “Steamboat Willie” kadaluarsa, setelah 95 tahun Walt Disney menciptakannya. Ini adalah perusahaan yang memandang kekayaan intelektual sebagai benteng yang harus dipertahankan mati-matian, seperti yang juga terlihat dalam pertarungan sengitnya melawan penyalahgunaan AI generatif.
Lalu, mengapa dua kubu yang berseberangan ini bersatu? Di permukaan, seolah-olah OpenAI yang mendapat keuntungan besar. Mereka mendapatkan akses ke IP paling berharga di dunia. Tapi, coba pikir lagi. Disney akan “mengkurasi” konten di Disney+. Mereka punya kendali penuh untuk menampilkan sedikit atau banyak konten AI itu. Investasi $1 miliar? Bagi Disney yang diperkirakan akan menghabiskan lebih banyak uang tunai dalam lima tahun ke depan daripada gabungan Uber, Tesla, Amazon, dan Spotify sebelum mereka profit, jumlah itu ibarat setetes air di lautan. Bahkan, kehadiran karakter Disney justru bisa membuat operasional ChatGPT dan Sora lebih mahal bagi OpenAI, karena mereka kini harus membayar biaya lisensi di atas biaya server.
Di sinilah analisis menjadi menarik. Bob Iger, CEO Disney, mungkin dikritik banyak pihak, tapi dia bukan orang bodoh. Berita ini muncul di tengah ekspektasi bahwa Presiden Trump akan segera menandatangani perintah eksekutif yang memprioritaskan regulasi AI yang lebih longgar di tingkat federal, sekaligus membentuk “Satuan Tugas Litigasi AI” untuk menantang regulasi ketat di tingkat negara bagian. Intinya: iklim regulasi federal yang lebih lunak terhadap AI sedang dipersiapkan. Disney, yang selama ini mengandalkan pemerintah untuk memperpanjang dan memperkuat hak cipta, kini membaca peta politik dengan cermat. Mereka sadar, kali ini, mereka mungkin tidak bisa lagi mengandalkan Capitol Hill untuk membentuk hukum sesuai keinginan mereka.
Jadi, apa solusinya? Bermitra langsung dengan kekuatan yang mendorong batas-batas hak kekayaan intelektual itu sendiri. Dan yang lebih penting: bermitra dengan kekuatan yang bisa mereka kendalikan. Ini bukan spekulasi. Menurut laporan Axios, kesepakatan ini memberi Disney kendali yang cukup besar atas bagaimana kekayaan intelektualnya digunakan. Kedua belah pihak akan membentuk komite pengarah bersama yang dirancang untuk memantau konten yang dibuat pengguna di ChatGPT dan Sora. Disney tidak sekadar menjual lisensi; mereka mendapatkan kursi di meja kontrol untuk memutuskan bagaimana teknologi ini berevolusi dalam beberapa tahun mendatang.
Baca Juga:
Pilihan mitra ini sangat strategis. Coba bandingkan dengan Google. Sehari sebelum perjanjian dengan OpenAI diumumkan, Disney justru mengirim surat cease-and-desist kepada Google. OpenAI mungkin perusahaan swasta paling bernilai di dunia, tetapi Alphabet, induk Google, bernilai lebih dari $3 triliun. Dalam negosiasi dengan raksasa sebesar itu, Disney paling banter akan berada di posisi setara. Mustahil mereka bisa menuntut kendali atas proyek AI Google. Berbeda dengan OpenAI. Posisi OpenAI hari ini jauh lebih rapuh dibandingkan akhir 2022, saat ChatGPT pertama kali meledak. Perusahaan ini adalah satu dari banyak penyedia AI di tengah lautan kompetisi, belum profit, dan telah menandatangani kesepakatan infrastruktur bernilai triliunan dolar dengan strategi yang sangat berisiko. Mereka butuh kemenangan besar, butuh legitimasi. Disney menawarkan itu, dengan syarat: kontrol.
Ini adalah pola yang mulai terlihat. Seperti halnya organisasi berita besar yang akhirnya memilih menandatangani kesepakatan lisensi dengan chatbot setelah awalnya karya mereka digunakan tanpa izin, Disney sepertinya membaca bahwa “demam spekulasi” yang sama akan segera dimulai untuk lisensi audiovisual. Dan mereka, dengan cerdik, mungkin telah mengamankan syarat yang paling menguntungkan lebih dulu. Mereka tidak ingin sekadar menjadi korban atau penonton, seperti yang mungkin dirasakan beberapa kreator dalam skandal Meta AI yang memaparkan konten tidak pantas. Mereka ingin menjadi arsitek aturan mainnya.
Jadi, apa yang kita saksikan bukanlah sekadar perjanjian bisnis. Ini adalah manuver geopolitik di dunia kekayaan intelektual. Disney, yang kerajaannya dibangun di atas hukum hak cipta yang ketat, melihat temboknya mulai retak diterjang gelombang AI generatif. Alih-alih berusaha memperkuat tembok itu sendirian—sebuah pertempuran yang semakin sulit—mereka memilih untuk membangun jembatan ke wilayah lawan, dan memasang pos pemeriksaan serta rambu-rambu di sepanjang jembatan itu. Mereka memahami bahwa masa depan hak cipta tidak lagi hanya ditentukan di ruang sidang atau lobi kongres, tetapi juga dalam kode algoritma dan kesepakatan komersial dengan pengembang teknologi.
Kemitraan Disney-OpenAI, dengan demikian, adalah pengakuan sekaligus strategi. Pengakuan bahwa kekuatan untuk mendefinisikan ulang “kepemilikan” dan “penggunaan wajar” dalam seni digital kini juga berada di tangan perusahaan teknologi. Dan strategi untuk memastikan bahwa di meja tempat keputusan-keputuhan baru itu dibuat, logo telinga bundar Mickey Mouse akan terpampang dengan jelas, mengingatkan semua pihak tentang siapa yang memegang hak atas karakter-karakter yang mungkin menjadi bahan bakar bagi mesin kreatif generasi berikutnya. Permainan baru telah dimulai, dan Disney memastikan mereka tidak datang sebagai tamu, melainkan sebagai salah satu tuan rumah.

