AI Kloning Model Fashion: Ancaman atau Peluang bagi Industri dan Identitas?

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – Bayangkan Anda berjalan di Times Square, New York, dan melihat hologram manusia virtual dengan rambut pink menyala melambai dari balik kaca toko. Ini bukan adegan film sci-fi, melainkan realitas baru yang dibawa oleh teknologi digital twin dalam industri fashion. Bulan lalu, H&M menggemparkan dunia dengan meluncurkan 30 model AI hasil kloning dari manusia sungguhan. Tapi di balik glamor teknologi ini, tersimpan pertanyaan kritis: apa artinya bagi masa depan pekerjaan, identitas, dan keadilan ekonomi?

AI fashion

Revolusi Digital Twin: Manusia dalam Dua Dimensi

Konsep digital twin bukan sekadar membuat avatar 3D. Prosesnya melibatkan pemindaian menyeluruh terhadap tubuh, wajah, suara, bahkan kepribadian seseorang. Hasilnya? Replika digital yang bisa bekerja tanpa lelah—mulai dari modeling hingga customer service. Startups seperti Hypervsn dan HourOne sudah menawarkan jasa ini, dengan klaim efisiensi biaya dan kreativitas tanpa batas.

Tapi di balik janji manis itu, ada masalah kepemilikan. Seperti diungkapkan Natalie Monbiot dari HourOne, industri ini sedang membangun Virtual Human Economy—sebuah pasar baru di mana identitas manusia menjadi komoditas. Pertanyaannya: siapa yang benar-benar memiliki “diri digital” ini setelah kontrak ditandatangani?

Jackpot Economy: Ketika Hanya Sedikit yang Menang

Andrew Ross, pakar ekonomi tenaga kerja AS, menyebut fenomena ini sebagai jackpot economy. Dalam sistem ini, hanya segelintir orang—biasanya yang sudah terkenal—yang mendapat keuntungan besar dari kloning digital. Sementara itu, mayoritas pekerja kreatif justru menghadapi persaingan semakin ketat, bukan hanya melawan manusia, tapi juga versi AI dari diri mereka sendiri.

Minh-Ha Pham, akademisi fashion, menambahkan bahwa teknologi memperdalam ketimpangan. “Model dengan followers Instagram besar akan di-clone, menghasilkan lebih banyak uang. Yang lain? Terancam tersingkir,” katanya. Ini diperparah oleh algoritma media sosial yang cenderung memperkuat popularitas yang sudah ada.

The Conversation

Dilema Representasi: Apakah AI Bisa Adil?

Shudu, model virtual pertama yang viral di Instagram, adalah contoh sempurna. Dengan 237 ribu followers dan kolaborasi bersama Louis Vuitton, ia sukses—tapi juga menuai kritik. Sebagai avatar wanita kulit hitam yang diciptakan oleh pria kulit putih, Shudu dianggap sebagai bentuk digital blackface: memanfaatkan identitas ras tanpa melibatkan komunitas aslinya.

Lalu, apakah digital twin dari model manusia sungguhan lebih etis? H&M mengklaim para model aslinya mendapat kompensasi berkelanjutan. Namun, tanpa standar industri yang jelas, praktik ini rentan eksploitasi. Bagaimana jika suatu hari perusahaan menggunakan replika digital untuk konten yang tidak disetujui model aslinya?

Teknologi seperti DeepSeek V3-0324 atau Llama 4 dari Meta semakin canggih dalam menciptakan manusia virtual. Tapi kecanggihan teknis harus diimbangi dengan kebijakan yang melindungi hak asasi.

Pertanyaan terbesar bukanlah “bisakah kita membuat digital twin?”, melainkan “haruskah kita?”—dan dalam kondisi seperti apa. Sebelum terpesona oleh hologram di etalase toko, mari pikirkan: pekerja kreatif mana lagi yang akan digantikan oleh versi digital mereka sendiri?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI