AI dan Dilema Aktor: Ketika Wajah Digital Tak Lagi Bisa Dikendalikan

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Bayangkan wajah Anda tiba-tiba muncul dalam video propaganda politik atau iklan produk abal-abal tanpa izin. Itulah kenyataan pahit yang kini dialami puluhan aktor global setelah menjual lisensi wajah mereka ke perusahaan AI. Teknologi kloning digital yang awalnya dianggap sebagai sumber penghasilan tambahan, berubah menjadi mimpi buruk ketika citra mereka digunakan untuk konten meragukan—dan mereka tak bisa berbuat apa-apa.

Industri AI avatar berkembang pesat, menawarkan bayaran menggiurkan bagi aktor yang bersedia “menyewakan” ekspresi wajah dan suara. Namun, seperti diungkapkan dalam laporan AFP, banyak yang tak menyadari betapa longgarnya klausul kontrak hingga akhirnya menemukan diri mereka menjadi bintang iklan scam atau alat propaganda.

Kisah Connor Yeates, aktor asal Inggris, adalah contoh nyata. Ia menerima €4,600 (Rp77 juta) dari Synthesia—perusahaan AI video—saat sedang kesulitan finansial. Tiga tahun kemudian, wajah digitalnya muncul dalam video mendukung Presiden Burkina Faso yang berkuasa lewat kudeta. “Ini seperti menjual jiwa tanpa tahu konsekuensinya,” katanya kepada The Guardian.

deepfake

Dari Dokter Palsu hingga Politik: Penyalahgunaan yang Tak Terduga

Kasus serupa dialami Simon Lee, aktor Korea Selatan. Wajah AI-nya tiba-tiba menjadi dokter palsu di TikTok, merekomendasikan teh lemon untuk diet dan es batu untuk jerawat. “Kontrak saya justru melarang meminta penghapusan konten,” keluhnya. Padahal, seperti diungkap dalam artikel terkait, teknologi replika suara dan wajah AI seharusnya memberi kontrol lebih pada kreator.

Synthesia mengakui ada celah moderasi konten. “Beberapa video lolos dengan klaim berlebihan,” kata Alexandru Voica, kepala urusan korporat mereka. Perusahaan ini memungkinkan klien membuat video AI hanya dengan memilih wajah, bahasa, dan skrip—proses yang bisa dilakukan siapa saja dengan anggaran minim.

Kontrak “Abadi” yang Mengikat: Bahasa Hukum vs Pemahaman Artis

Alyssa Malchiodi, pengacara spesialis kontrak, membeberkan trik licik dalam perjanjian lisensi AI: “Klausul ‘perpetual and irrevocable’ berarti aktor kehilangan hak selamanya.” Bahasa hukum yang rumit sengaja dibuat agar artis—yang umumnya bukan ahli hukum—tak menyadari risiko.

Teknologi berkembang lebih cepat daripada regulasi. Sementara Hollywood mulai merespons lewat negosiasi dengan raksasa teknologi, aktor independen seperti Yeates dan Lee terjebak tanpa perlindungan. Mereka hanya punya dua pilihan: menerima kenyataan atau berperang hukum dengan biaya mahal.

A leopard stands on a forest path surrounded by dense greenery. Beside it, a smaller wildcat with a gray coat and white markings stands on the forest floor, also looking toward the camera.

Pelajaran pentingnya? Seperti diungkap dalam perkembangan teknologi terkini, kemajuan AI harus diimbangi dengan literasi digital dan perlindungan hukum. Sebelum menandatangani kontrak berbau “digital immortality”, pastikan Anda benar-benar paham arti setiap klausul—karena sekali wajah Anda menjadi milik algoritma, sulit untuk merebutnya kembali.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI