AI Bisa Hapus 50% Pekerjaan Entry-Level, Benarkah?

REKOMENDASI

ARTIKEL TERKAIT

Pernahkah Anda membayangkan dunia di mana separuh pekerjaan entry-level tiba-tiba lenyap? Dario Amodei, salah satu pendiri Anthropic, perusahaan AI bernilai miliaran dolar, memprediksi hal itu akan terjadi lebih cepat dari yang kita duga. Dalam wawancara dengan Axios, Amodei mengungkapkan bahwa teknologi AI yang dikembangkannya mampu menciptakan “kemungkinan tak terbayangkan”—baik positif maupun negatif. Dan salah satu dampak terbesarnya? Penggantian massal pekerja manusia oleh mesin.

Prediksi ini bukan sekadar ramalan tanpa dasar. Amodei, yang juga mantan peneliti OpenAI, menggambarkan krisis tenaga kerja dalam empat tahap. Pertama, perusahaan seperti OpenAI, Google, dan Anthropic akan terus menyempurnakan model bahasa besar (LLM) hingga mampu mengungguli kinerja manusia dalam berbagai tugas. Pemerintah, sibuk dengan persaingan global seperti China, dianggap akan abai terhadap regulasi AI. Sementara pekerja biasa, tanpa disadari, tiba-tiba menghadapi penggantian oleh AI hampir dalam semalam. “Publik baru menyadarinya ketika semuanya sudah terlambat,” ujarnya.

Masa Depan Ekstrem: 10% Pertumbuhan Ekonomi, 20% Pengangguran

Amodei bahkan menyodorkan skenario ekstrem: bagaimana jika AI berhasil menyembuhkan kanker, mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga 10% per tahun, sekaligus membuat 20% populasi kehilangan pekerjaan? “Kami, sebagai pembuat teknologi ini, punya kewajiban untuk jujur tentang apa yang akan datang,” tegasnya. Namun, pertanyaan besar muncul: jika ancaman ini nyata, mengapa Amodei tidak menghentikan Anthropic dan beralih ke upaya pencegahan?

Di balik narasi mengerikan ini, ada celah yang patut dipertanyakan. Meski perusahaan AI terus mengklaim peningkatan kemampuan LLM, faktanya model terbaru justru semakin rentan terhadap halusinasi, kesalahan generalisasi, dan ketergantungan berlebihan pada data pelatihan. Belum lagi hukum diminishing returns; peningkatan efisiensi AI di dunia kerja saat ini masih sangat minim, dan kemajuan berikutnya mungkin akan semakin lambat.

AI atau Hype? Siapa yang Sebenarnya Mengancam Pekerja?

Fenomena menarik justru terjadi di balik layar. Ketakutan akan AI sering kali dipicu oleh narasi industri teknologi sendiri—bukan oleh bukti nyata. Amodei dan rekan-rekannya, yang memiliki kepentingan finansial dan politik, secara aktif mendorong cerita tentang AI supercerdas. Alih-alih memicu kewaspadaan, hal ini malah membuat regulator AS justru menyerahkan kendali ke perusahaan teknologi untuk “mengatur diri sendiri”.

Ironisnya, kelompok yang paling rentan terhadap dampak AI bukanlah para eksekutif, melainkan pekerja kelas menengah ke bawah—mereka yang sudah menghadapi diskriminasi di pasar tenaga kerja. Jika ada gelombang PHK akibat AI saat ini, pemicunya lebih pada hype ketimbang kemampuan teknologi yang sesungguhnya. Seperti dikutip dalam laporan terbaru, beberapa perusahaan terburu-buru memangkas posisi manusia hanya karena tergoda janji efisiensi AI.

Lalu, bagaimana sebaiknya menyikapi prediksi Amodei? Daripada panik, ada baiknya kita mempertanyakan motif di balik narasi tersebut. Jika Anda ingin tetap relevan di era AI, mulailah dengan mempelajari tools yang benar-benar bermanfaat, seperti game simulasi untuk melatih keterampilan atau konten kreatif sebagai alternatif pengembangan diri. Bagaimanapun, masa depan tenaga kerja tak sepenuhnya ditentukan oleh mesin—tapi oleh kesiapan kita beradaptasi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI

HARGA DAN SPESIFIKASI