Telset.id – Bayangkan sebuah mesin yang mampu menciptakan karya seni, musik, atau bahkan artikel hanya dengan “mencerna” jutaan data yang ada di internet. Itulah kekuatan AI generatif. Namun, di balik kecanggihannya, muncul pertanyaan krusial: bagaimana dengan hak cipta material yang digunakan untuk melatihnya?
Sebuah laporan terbaru dari Carnegie Mellon University yang dimuat dalam buku kebijakan hak cipta AS mengungkap dilema ekonomi di balik praktik ini. Michael D. Smith, Profesor Teknologi Informasi dan Kebijakan Publik di Heinz College, menjelaskan bahwa hak cipta dirancang untuk menyeimbangkan insentif ekonomi bagi pencipta dengan akses terhadap karya yang sudah ada. “Proses kreatif kumulatif adalah fondasi inovasi,” katanya. “AI generatif, dalam hal ini, mirip karena ia menyerap karya yang ada dan menghasilkan sesuatu yang baru.”
Dua Pertanyaan Kunci
Para peneliti menggarisbawahi dua pertanyaan mendasar: pertama, manfaat sosial apa yang diperoleh pengembang AI dari akses ke materi pelatihan? Kedua, bagaimana dampaknya terhadap insentif pencipta manusia untuk terus berkarya?
Rahul Telang, Profesor Sistem Informasi di Heinz College, menambahkan bahwa sedikit sekali instrumen kebijakan yang tersedia untuk mencegah pemegang hak cipta membatasi akses publik ke karya mereka. “Satu-satunya solusi yang mungkin adalah persyaratan lisensi untuk penggunaan data,” ujarnya. Namun, ini pun tidak lepas dari tantangan, terutama dalam hal transparansi dan penegakan hukum.
Baca Juga:
Opt-Out vs. Opt-In: Beban Baru bagi Pemegang Hak Cipta
Laporan ini juga membahas kebijakan Uni Eropa yang mewajibkan pemegang hak cipta secara aktif “opt-out” jika tidak ingin karyanya digunakan untuk melatih model AI. Ini menggeser beban dari pengguna material berhak cipta ke pemiliknya—sebuah perubahan signifikan dalam perlindungan hak cipta tradisional.
Dengan perkembangan pesat teknologi seperti OmniHuman-1 dari ByteDance atau chipset MediaTek Genio, debat ini semakin relevan. Apakah kita sedang menyaksikan lahirnya era baru kolaborasi manusia-mesin, atau justru awal dari konflik kepemilikan intelektual yang lebih kompleks?
Yang jelas, seperti kata Smith, “Inovasi tidak terjadi dalam ruang hampa.” Tantangannya adalah menemukan keseimbangan baru yang adil bagi semua pihak di era di mana mesin pun bisa menjadi “pencipta”.