Telset.id, Jakarta – Rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 52/2000 dan PP 53/2000 tentang telekomunikasi yang diajukan pemerintah dinilai cacat prosedur. Ombudsman RI menyarankan kepada Presiden Joko Widodo untuk tidak menandatangani kedua PP tersebut.
Menurut Ombudsman, setidaknya ada enam maladministrasi atau cacat prosedur di dalam proses revisi kedua PP tersebut, yang dinilai akan berpotensi merugikan kepentingan publik.
“Bukan cuma satu, tapi ada enam potensi maladministrasi atau cacat prosedur di dalam proses revisi kedua PP ini,” kata Alamsyah Saragih, anggota Ombudsman RI saat media briefing mengenai network sharing dan interkoneksi di Cikini, Jakarta, Selasa (11/10/2016).
Ia mengungkapkan, enam potensi maladministrasi atau cacat prosedur tersebut adalah pengabaian partisipasi publik, pelayanan yang diskriminatif, menutup informasi tanpa mempertimbangkan kepentingan publik, merugikan keuangan negara, pengabaian terhadap kecenderungan praktik pemegang lisensi broker, dan perlakuan istimewa terhadap operator.
“Saya menyarankan, tunda saja revisi PP ini. Bukan saya tidak percaya sama menterinya, tapi percuma saja kalau bolong-bolong masih cacat prosedur. Karena menterinya sendiri belum pernah menjawab apakah konsultasi publik sudah pernah dilakukan atau belum, apakah ini sesuai dengan UU atau tidak,” ujarnya.
Dalam salinan dokumen yang diterima Ombudsman, disebutkan bahwa isi draft revisi PP itu menyatakan perlunya sharing atas infrastuktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang mencakup backbone dan jaringan.
Sharing atas backbone bersifat mandatory (wajib) sedangkan sharing atas jaringan telekomunikasi bersifat business to business (B2B) dalam keadaan tertentu, yang didasarkan atas penciptaan persaingan usaha yang sehat, pencapaian efisiensi, dan perwujudan keberlanjutan penyelenggaraan jaringan.
Masih menurut dokumen tersebut, dinyatakan pemerintah menghitung nilai investasi dan nilai kompensasi atas pelaksanaan sharing per wilayah dan dalam pelaksanaan perhitungan dapat menugaskan auditor independen.
Pemerintah juga menetapkan biaya atas penggunaan backbone yang dibangun oleh pemerintah dan dihitung sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Alamsyah berpendapat, kondisi penciptaan persaingan usaha yang sehat, pencapaian efisiensi, dan perwujudan keberlanjutan penyelenggaraan jaringan tidak mungkin terjadi jika masih ada cacat prosedur.
“Ombudsman sangat tidak setuju revisi kedua PP itu dilanjutkan karena secara eksplisit melanggar UU No. 36/1999. Kalau tetap mau memaksakan revisi PP, ubah dulu Undang-undangnya,” tegas Alamsyah.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara telah menerima surat tembusan dari Menko Perekonomian tentang revisi kedua PP tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan perubahan terhadap PP tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit tersebut.
Kedua PP ini merupakan turunan dari UU No. 36/1999 tentang telekomunikasi. Pokok perubahan terhadap kedua PP tersebut intinya mengatur masalah backbone network (jaringan) sharing dan akses (spektrum) jaringan antar operator.
Revisi kedua PP ini kabarnya sudah berada di Sekretariat Negara untuk dilakukan pemeriksaan terakhir sebelum diajukan ke Presiden Joko Widodo untuk ditandatangani.
Setelah ditandatangani presiden, kedua PP tersebut akan diturunkan melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika.
Penolakan terhadap revisi PP ini juga disuarakan oleh berbagai pihak, mulai dari akademisi, mantan regulator telekomunikasi, anggota dewan di Komisi I, hingga sejumlah LSM seperti Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (FITRA), Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), dan Lembaga Independen Pemantau Kebijakan Publik (LIPKP).[HBS]