Telset.id – Ketika Samsung mulai berbicara terbuka tentang chip 2nm pertamanya, banyak yang mengira akan mendengar angka-angka spektakuler. Nyatanya? Peningkatan yang diumumkan justru terlihat sederhana. Tapi jangan salah, di balik angka “hanya” 5-8% ini, tersimpan strategi bisnis yang sedang mencetak kemenangan besar.
Bayangkan: perusahaan asal Korea Selatan ini mengklaim proses 2nm Gate-All-Around (GAA) mereka hanya memberikan peningkatan performa sekitar 5%, efisiensi 8%, dan pengurangan ukuran chip 5% dibanding proses 3nm generasi kedua. Di permukaan, ini bukan lompatan revolusioner yang biasa kita dengar di dunia teknologi. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa kemampuan awal 2nm ini justru sudah membuahkan hasil nyata: sekitar seperempat pesanan Galaxy S26 dan kontrak raksasa senilai $16,5 miliar dari Tesla untuk chip AI6.
Lalu, apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa loncatan teknologi yang tampak kecil ini justru menjadi magnet kontrak besar-besaran? Mari kita selami lebih dalam strategi Samsung yang mungkin lebih cerdas dari yang kita kira.

Exynos 2600: Kebangkitan atau Pengulangan Sejarah?
Untuk memahami konteks lengkapnya, kita perlu melihat kembali track record Exynos. Selama bertahun-tahun, chip buatan Samsung ini sering dianggap sebagai “anak tiri” dalam strategi flagship global mereka. Pembeli di Eropa rutin mendapatkan perangkat yang lebih lambat dan kurang efisien dibanding versi Snapdragon yang dijual di Amerika. Dan kini, pola yang sama akan kembali untuk Galaxy S26 dan S26+.
Kedua model tersebut diprediksi akan menggunakan Exynos 2600, sementara S26 Ultra dikabarkan tetap mengandalkan Snapdragon 8 Elite Gen 5 Qualcomm di seluruh dunia. Pembagian ini mengingatkan kita pada laporan sebelumnya yang menyebut 75% Galaxy S26 akan pakai Snapdragon, meninggalkan porsi 25% untuk Exynos 2600.
Tapi kali ini, Samsung tampaknya lebih percaya diri. Dalam update finansial terbaru, perusahaan dengan jelas memaparkan apa yang ingin mereka capai dengan proses 2nm GAA. Yang menarik, mereka tidak menjanjikan lompatan besar, melainkan perbaikan bertahap yang konsisten. Apakah pendekatan “small steps” ini akan berhasil memulihkan reputasi Exynos?
Baca Juga:
Yield 60%: Cukup untuk Memulai Revolusi?
Di balik layar, ada satu metrik kritis yang mungkin lebih penting dari angka performa: yield rate. Samsung mengklaim Exynos 2600 saat ini mencapai yield rate sekitar 60%. Angka ini, meski tidak spektakuler, dikatakan cukup untuk memulai produksi serius.
Bagi yang belum familiar, yield rate mengacu pada persentase chip yang berfungsi sempurna dari total yang diproduksi. Di industri semikonduktor, mencapai yield rate stabil di atas 50% untuk proses node baru sudah dianggap sukses di tahap awal. Dengan yield 60%, Samsung berpotensi menghemat $20-30 per unit dibanding menggunakan chip Snapdragon – pengurangan yang signifikan dalam bill of materials (BoM) untuk model S26 Eropa.
Namun, pertanyaannya tetap: apakah angka ini cukup untuk memenuhi ekspektasi? Mengingat keputusan Samsung kembali ke chipset in-house untuk S26, tekanan untuk sukses sangatlah besar.
Desain ARM vs Arsitektur Kustom: Masalah Abadi
Di sini kita menemukan akar masalah yang sebenarnya. Sementara Qualcomm dan Apple mengembangkan arsitektur CPU yang sangat dikustomisasi, Samsung masih menggunakan desain core standar ARM Lumex. Perbedaan fundamental inilah yang biasanya membuat Exynos tertinggal dalam optimasi dunia nyata, meski di atas kertas spesifikasinya terlihat menjanjikan.
Sejarah Exynos penuh dengan contoh chip yang tampak hebat dalam presentasi, namun mengecewakan ketika sudah berada di tangan pengguna. Pola ini yang membuat banyak pengamat skeptis dengan klaim “kebangkitan” Exynos 2600. Apakah proses 2nm akan cukup untuk mengatasi keterbatasan desain arsitektur?
Yang menarik, meski menghadapi skeptisisme ini, beberapa laporan justru mengindikasikan Galaxy S26 Ultra akan pakai Exynos 2600 dengan performa yang dijanjikan “gahar”. Kontradiksi informasi ini menunjukkan betapa dinamisnya perkembangan behind the scenes.
Dengan peluncuran Galaxy S26 yang semakin dekat, pertanyaannya sederhana: apakah lompatan awal ke 2nm ini merupakan turning point sesungguhnya bagi Samsung, atau sekadar pengulangan sejarah bagi pembeli Eropa? Perusahaan jelas yakin bahwa langkah-langkah kecil akan terakumulasi menjadi kemajuan besar. Tapi apakah pelanggan akan setuju? Ceritanya mungkin berbeda.
Yang pasti, meski angka peningkatan terlihat modest, kontrak $16,5 miliar dari Tesla membuktikan bahwa industri melihat nilai dalam teknologi 2nm Samsung. Terkadang, dalam bisnis semikonduktor, konsistensi dan reliabilitas lebih berharga daripada lompatan revolusioner yang tidak terprediksi. Samsung mungkin sedang bermain game yang berbeda dari yang kita kira – dan sejauh ini, strategi itu membuahkan hasil finansial yang tidak bisa diabaikan.

