Telset.id – Dalam sebuah industri yang sedang tersandung, solusi yang paling mudah—dan sering kali paling berbahaya—adalah konsolidasi. Laporan bahwa Netflix akan mengakuisisi Warner Bros. Discovery dengan nilai fantastis $82,7 miliar bukanlah sekadar berita merger korporat biasa. Ini adalah sebuah peristiwa seismik yang berpotensi mengubah peta hiburan global selamanya. Di satu sisi, ini mungkin merupakan kabar baik bagi para pemegang saham yang haus akan skala dan dominasi pasar. Namun, jika kita menyibak lapisan pertama antusiasme Wall Street, ada sebuah narasi yang lebih suram dan kompleks: bahwa langkah ini justru menjadi paku terakhir bagi peti mati keragaman kreatif di Hollywood, yang sudah sekarat oleh pandemi, pemogokan, dan utang.
Bayangkan sebuah dunia di mana Netflix—dengan algoritmanya yang terkenal—tidak hanya menguasai library original-nya sendiri, tetapi juga warisan Warner Bros. seperti “The Dark Knight”, “Harry Potter”, seri “The Lord of the Rings”, serta seluruh kekayaan HBO seperti “Game of Thrones” dan “Succession”. Kekuasaan yang terkonsentrasi seperti ini menciptakan sebuah raksasa konten yang menguasai sekitar 33% pasar streaming AS, melampaui Prime Video. Pertanyaannya bukan lagi apakah mereka bisa, tetapi apakah kita sebagai penonton mau hidup dalam ekosistem di mana hampir separuh dari apa yang kita tonton dikendalikan oleh satu entitas dengan satu set algoritma?
Dampak pada Bioskop: Akankah “Jendela Teatrikal” Semakin Menyempit?
Salah satu kekhawatiran terbesar datang dari dunia bioskop. Netflix, dalam DNA-nya, adalah perusahaan streaming-first. Meski Co-CEO Ted Sarandos menyatakan mereka tidak menentang rilis teatrikal dan akan meneruskan tradisi Warner Bros., sejarah berbicara lain. Pernyataannya yang terkenal bahwa model bioskop adalah “konsep yang kedaluwarsa” menggambarkan filosofi inti perusahaan. Dalam praktiknya, film-film Netflix kerap hanya mendapatkan rilis teatrikal terbatas yang sangat singkat, lebih sebagai strategi marketing untuk memenuhi syarat penghargaan daripada komitmen pada pengalaman menonton komunal.
Michael O’Leary dari Cinema United, kelompok yang mewakili 30.000 layar bioskop di AS, secara gamblang menyebut akuisisi ini sebagai “ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya” bagi bisnis pertunjukan global. Kekhawatirannya valid. Jika Netflix menguasai waralaba besar seperti Batman atau Harry Potter, apa yang mencegah mereka untuk mempersingkat atau bahkan menghilangkan “jendela teatrikal” dan langsung meluncurkannya ke platform? Keputusan seperti itu tidak hanya akan melukai bioskop—dari jaringan besar hingga independen—tetapi juga mengikis budaya menonton film sebagai sebuah peristiwa sosial.
Masa Depan yang Suram bagi Kreator: Semakin Sedikit Pintu yang Bisa Ditokok
Di balik layar, suasana mungkin lebih muram lagi. Untuk para penulis skenario, sutradara, dan produser, setiap konsolidasi besar berarti berkurangnya jumlah studio yang dapat mereka tawari ide-ide mereka. Hollywood sudah menjadi tempat yang sulit untuk meyakinkan eksekutif mengambil risiko pada cerita yang unik atau suara baru. Dengan berkurangnya pemain utama, kompetisi untuk mendapatkan perhatian akan semakin sengit, dan kemungkinan besar hanya proyek-proyek yang dianggap paling “aman” secara komersial—sekuel, reboot, franchise yang sudah mapan—yang akan mendapat lampu hijau.
C. Robert Cargill, penulis skenario “Doctor Strange”, menyuarakan keprihatinan yang dalam. Dalam pernyataannya, ia menggambarkan skenario di mana konsolidasi ini akan “menggerus keragaman dan suara-suara segar di industri,” memaksa ribuan pekerja kreatif meninggalkan Hollywood. Ia memuji Warner Bros. dan HBO atas risiko kreatif yang mereka ambil belakangan ini, dan mempertanyakan apakah lingkungan kreatif yang berani itu akan bertahan setelah diambil alih oleh mesin “konten” Netflix yang terkenal sangat terukur dan berbasis data.
Konsumen: Antara Pilihan yang Menyusut dan Harga yang Melambung
Lalu, di mana posisi kita, para penonton? Janji awal mungkin menggoda: akses ke semua konten dalam satu langganan. Namun, realitas ekonomi jarang seindah itu. Senator Elizabeth Warren telah memperingatkan bahwa merger ini bisa memaksa konsumen membayar harga yang lebih tinggi dengan pilihan yang lebih sedikit. Bayangkan jika nanti Anda harus berlangganan paket “Netflix Premium Plus with HBO” dengan harga yang jauh melampaui langganan individual hari ini.
Lebih jauh, kekhawatiran tentang homogenisasi konten sangat nyata. Algoritma rekomendasi Netflix dirancang untuk memaksimalkan waktu tonton dan retensi pelanggan. Jika sistem ini yang nantinya mengatur bagaimana konten Warner Bros. dan HBO didistribusikan dan dipromosikan, apakah kita akan terjebak dalam gelembung filter yang lebih besar? Akankah film-film arthouse atau serial drama kompleks yang kurang populer secara massal—jenis konten yang justru sering menghiasi katalog HBO—perlahan terpinggirkan karena tidak “optimal” secara algoritmik?
Fisik Media: Akhir dari Sebuah Era?
Dan bagi kolektor, ini mungkin merupakan pukulan telak. Netflix, yang memang bangkit dari bisnis DVD-by-mail, kini telah sepenuhnya bertransformasi menjadi digital. Janji untuk “menjalankan bisnis Warner Bros. seperti biasa” jarang bertahan lama pasca-akuisisi. Dengan menurunnya permintaan pasar, divisi home video dan rilis media fisik (DVD, Blu-ray) Warner Bros. sangat rentan untuk dipangkas. Ini bukan hanya soal nostalgia, tetapi tentang pelestarian karya seni dalam bentuk yang tidak bergantung pada lisensi digital yang bisa hilang sewaktu-waktu.
Pada akhirnya, akuisisi sebesar ini adalah pertaruhan besar atas masa depan cara kita menikmati cerita. Ia mengorbankan kompetisi, keragaman suara, dan kesehatan ekosistem kreatif yang lebih luas demi efisiensi skala dan pertumbuhan bagi satu perusahaan. Di tengah pemulihan industri yang masih timpang-timpang, langkah ini seperti memberi obat penenang pada pasien yang membutuhkan terapi menyeluruh. Ia mungkin meredakan gejala sesaat bagi para pemegang saham, tetapi berisiko melumpuhkan organ vital kreativitas, pilihan, dan pengalaman menonton itu sendiri dalam jangka panjang. Regulator kini memegang peran penting: apakah mereka akan mengizinkan terciptanya sebuah raksasa yang bisa mendikte apa, bagaimana, dan dengan harga berapa kita menonton? Jawabannya akan menentukan wajah hiburan untuk puluhan tahun ke depan.

