Telset.id – Bayangkan terbang dari Shanghai ke Suzhou hanya dalam 15 menit dengan tarif kurang dari Rp 200 ribu. Bukan mimpi, ini adalah visi nyata yang dipamerkan China dalam pameran impor terbesarnya. Di tengah hiruk-pikuk perkembangan teknologi mobilitas global, China secara diam-diam sedang menyiapkan revolusi transportasi yang bisa mengubah cara kita bepergian selamanya.
China International Import Expo (CIIE) 2025 di Shanghai bukan sekadar pameran dagang biasa. Di balik gemerlap stan-stan internasional, tersembunyi sebuah terobosan yang bisa membuat kita mempertanyakan: masih perlukah kita terjebak macet berjam-jam jika bisa terbang melintasi kota dalam hitungan menit? Zona “Future Low-Altitude Travel” di area pameran Automotive and Smart Mobility menjadi bukti nyata bahwa era taksi terbang sudah di depan mata.

Yang menarik, pameran ini dirancang seperti bandara masa depan dalam skala mini. Pengunjung bisa merasakan langsung pengalaman naik taksi terbang mulai dari area pemeriksaan keamanan, papan informasi penerbangan digital, hingga lounge tunggu yang nyaman. Namun yang paling membuat decak kagum adalah mesin penjual tiket simulasi yang memamerkan rute dan tarif potensial.
Simulasi tersebut mengungkapkan fakta mengejutkan: penerbangan 10 menit dalam kota dari National Exhibition Center ke The Bund Shanghai hanya sekitar ¥49 atau setara Rp 100 ribu. Sementara untuk rute antarkota Shanghai-Suzhou yang memakan waktu 15 menit, tarifnya sekitar ¥119 atau kurang dari Rp 250 ribu. Angka-angka ini bukan sekadar imajinasi, melainkan proyeksi realistis berdasarkan perhitungan biaya operasional masa depan.
Revolusi di Udara: Pesawat Listrik Lima Penumpang
Di tengah berbagai prototipe yang dipamerkan, satu model pesawat listrik menjadi pusat perhatian. Dengan bentang sayap 15 meter dan badan pesawat sepanjang 10 meter, kendaraan udara ini mampu mengangkut lima penumpang sekaligus. Kecepatan maksimum 200 km/jam dengan jangkauan 250 kilometer sekali charge membuatnya ideal untuk perjalanan regional.

Desainnya yang mengutamakan keberlanjutan dengan teknologi baterai mutakhir menegaskan komitmen China terhadap transportasi ramah lingkungan. Ini bukan sekadar konsep, melainkan bagian dari strategi besar China dalam membangun “ekonomi ketinggian rendah” yang telah dimasukkan dalam Rencana Lima Tahun ke-15 negara tersebut.
Baca Juga:
Perkembangan taksi terbang di China ini sejalan dengan tren global. Beberapa negara sudah mulai menguji coba teknologi serupa, seperti Korea Selatan yang menguji coba layanan taksi terbang Volocopter. Bahkan, taksi terbang sudah menjadi angkutan wajib di Olimpiade Paris 2024, menunjukkan bahwa teknologi ini semakin dekat dengan implementasi massal.
Strategi Besar di Balik Terbang Rendah
Mobilitas ketinggian rendah bukan sekadar proyek prestise bagi China. Ini adalah komponen kunci dalam jaringan transportasi generasi berikutnya yang dianggap mampu menyelesaikan masalah kemacetan perkotaan sekaligus mengurangi emisi karbon. Integrasi transportasi udara listrik ke dalam kehidupan sehari-hari menjadi bagian dari visi besar China menghubungkan wilayah perkotaan dan suburban dengan cara yang lebih cepat, bersih, dan efisien.
Yang patut dicatat, perkembangan ini terjadi saat perusahaan teknologi global juga berlomba menguasai pasar taksi terbang. Setelah sukses di AS, taksi terbang Uber sudah mulai mengudara di Australia, menandakan persaingan yang semakin ketat di sektor mobilitas udara.
Pameran di CIIE 2025 ini bukan sekadar eksibisi teknologi, melainkan pernyataan tegas China tentang masa depan transportasi. Saat negara-negara lain masih berkutat dengan regulasi dan uji coba terbatas, China sudah mempresentasikan visi komprehensif yang siap diimplementasikan. Pertanyaannya sekarang: siapkah kita menyambut era dimana langit menjadi bagian dari perjalanan sehari-hari?
Dengan proyeksi tarif yang terjangkau dan teknologi yang semakin matang, mimpi terbang ke kantor atau mengunjungi kota tetangga dalam hitungan menit mungkin akan segera menjadi kenyataan. China telah meletakkan fondasi, dan sekarang tinggal menunggu bagaimana negara-negara lain, termasuk Indonesia, akan merespons revolusi transportasi yang satu ini.

