Pernahkah Anda membayangkan menjadi pionir di suatu industri, hanya untuk tersingkir oleh pesaing yang lebih lincah? Itulah kisah Nissan Leaf—EV pertama yang mendunia pada 2010, mengalahkan Tesla, namun kini berjuang merebut kembali tahtanya. Di balik desain futuristik dan janji ramah lingkungan, tersimpan drama manajemen yang berantakan, kesalahan strategi, dan tekad baru untuk bangkit.
Leaf bukan sekadar mobil listrik. Ia adalah simbol keberanian Nissan memimpin revolusi elektrik saat raksasa otomotif lain masih ragu. Tapi 15 tahun kemudian, posisinya tergeser. Penyebabnya? Kegagalan membaca tren hybrid, merger gagal dengan Honda, dan ketidakmampuan beradaptasi dengan pasar yang berubah cepat. Namun, di bawah kepemimpinan baru Ivan Espinosa, Nissan bersiap menulis babak baru.
Di pusat teknis Nissan di Atsugi, Jepang, Espinosa—sang CEO baru—menyampaikan visinya dengan nada jujur yang tak biasa di industri otomotif. “Ini adalah jantung Nissan,” katanya, mengakui kesalahan masa lalu sambil memamerkan generasi ketiga Leaf yang kini berubah wujud menjadi crossover sporty. Sebuah langkah berani untuk merebut pasar Amerika yang gemar SUV.
Kesalahan Fatal yang Hampir Menenggelamkan Nissan
Masalah Nissan bermula dari tiga blunder strategis:
- Mengabaikan Hybrid: Saat Toyota dan Honda menguasai pasar dengan teknologi hybrid, Nissan fokus pada EV murni—sebuah pilihan berisiko di pasar yang belum siap.
- Ego dalam Merger Honda: Pembicaraan merger 2023 gagal karena Nissan menolak dianggap “tidak setara” dengan Honda, padahal angka penjualan mereka terpaut jauh.
- Keterlambatan Produksi: Model Ariya terlambat 8-10 bulan, kalah cepat dari Tesla yang bisa memangkas harga seketika.
Senjata Rahasia Nissan untuk Bangkit
Di tengah utang $5.6 miliar yang jatuh tempo 2026, Nissan memutar haluan dengan strategi 3K:
- Kendaraan Baru: Generasi ketiga Leaf (2025) dengan platform 400V CMF-EV, Micra EV untuk Eropa, dan hybrid Rogue (2026) dengan teknologi e-Power terbaru.
- Kecepatan Pengembangan: Memangkas siklus produksi dari 55 bulan menjadi 37 bulan untuk merespons pasar lebih cepat.
- Kolaborasi: Meski merger gagal, Espinosa membuka opsi kerja sama teknis dengan Honda untuk efisiensi biaya.
Tarif Trump: Ancaman di Ujung Jalan
Rencana Nissan bisa buyar oleh kebijakan proteksionisme AS. Tarif 25% untuk impor mobil dan 24% untuk komponen Jepang mengancam profitabilitas mereka—terutama karena hanya memiliki dua pabrik di AS. Analis Sam Abuelsamid memprediksi: “Nissan akan paling terdampak dibandingkan Toyota atau Honda.”
Di balik semua tantangan, Espinosa tetap optimis. “Kami punya ¥1 triliun ($6.65 miliar) kas,” katanya, sambil mengakui bahwa kunci kesuksesan terletak pada peningkatan arus kas. Pertaruhan mereka? SUV listrik “ala X-Terra” yang diproduksi di Mississippi pada 2027—sebuah langkah cerdik menghindari tarif sekaligus menyaingi Rivian R2.
Kisah Nissan Leaf adalah cermin industri otomotif modern: inovasi saja tak cukup tanpa kelincahan beradaptasi. Kini, dengan kepemimpinan baru dan portofolio elektrik yang segar, pertanyaannya bukan lagi “bisakah Nissan bangkit?”, melainkan “berapa harga yang harus dibayar konsumen untuk kebangkitan ini?”