Bayangkan Anda sudah memesan mobil mewah impian, menunggu berbulan-bulan, tiba-tiba dealer memberi kabar: “Maaf, pengiriman ditunda tanpa kepastian.” Itulah realitas yang kini dihadapi calon pembeli Jaguar dan Land Rover di Amerika Serikat setelah produsen asal Inggris itu menghentikan sementara ekspornya ke Negeri Paman Sam. Penyebabnya? Kebijakan tarif impor otomotif sebesar 25% dari pemerintahan Donald Trump yang mulai berlaku April ini.
Langkah Jaguar Land Rover (JLR) ini bukan sekadar reaksi spontan. Ini adalah potret awal bagaimana perang dagang global bisa mengacaukan rantai pasokan industri otomotif—sektor yang selama puluhan tahun dibangun dengan ketergantungan antarnegara. “AS adalah pasar penting bagi merek mewah JLR,” begitu bunyi pernyataan resmi perusahaan kepada Associated Press. Tapi di balik kalimat diplomatis itu, tersirat kegelisahan: bagaimana caranya tetap kompetitif ketika biaya tiba-tiba melonjak seperempat dari harga normal?
Analis memperkirakan efek domino kebijakan ini akan lebih dalam dari yang dibayangkan. Bukan hanya mobil baru yang harganya bakal naik, tapi juga pasar bekas—sebab konsumen yang tak mampu membeli mobil baru akan berbondong-bondong ke showroom mobil second-hand. Lalu, bagaimana dengan nasib dealer lokal yang tiba-tiba kehilangan stok? Dan yang lebih mengkhawatirkan: apakah ini akan memicu reaksi berantai dari produsen otomotif lain?
Tarif Trump: Bukan Hanya Soal Mobil
Kebijakan Trump kali ini jauh lebih masif dari sekadar industri otomotif. Presiden ke-45 AS itu baru saja mengumumkan tarif dasar 10% untuk “semua negara”, dengan ancaman tarif “resiprokal” yang lebih tinggi bagi negara yang dianggap tidak kooperatif. Nintendo, misalnya, terpaksa menunda pre-order Switch 2 di AS—indikasi awal bahwa gejolak ini merambah ke sektor elektronik konsumen.
Bagi JLR, tarif 25% untuk mobil penumpang adalah pukulan telak. Bandingkan dengan tarif sebelumnya yang hanya 2.5% untuk mobil dan 25% untuk pickup—kebijakan yang memang sudah lama menguntungkan produsen AS seperti Ford dan GM. Tapi kini, aturan baru itu menyamaratakan semua kendaraan impor, tanpa peduli itu sedan mewah atau SUV utilitarian.
Strategi Bertahan di Tengah Gejolak
JLR menyebut jeda pengiriman ini sebagai “aksi jangka pendek” sambil menyusun rencana jangka menengah-panjang. Tapi apa saja opsi yang tersedia? Beberapa skenario mungkin terjadi:
- Penyesuaian harga: Menaikkan harga jual, tapi risiko kehilangan daya saing terhadap merek seperti Mercedes atau BMW yang juga terkena tarif serupa.
- Relokasi produksi: Memindahkan sebagian produksi ke AS seperti yang dilakukan BMW dengan pabrik South Carolina-nya. Tapi butuh waktu dan investasi besar.
- Restrukturisasi model: Fokus pada varian hybrid/electric yang mungkin dapat pengecualian tarif.
Yang pasti, konsumen akhir yang akan menanggung beban terberat. Di pasar seperti Range Rover yang permintaannya inelastis (pembeli loyal tak mudah beralih merek), kenaikan harga mungkin masih bisa diserap. Tapi untuk model seperti Jaguar XE yang bersaing ketat dengan Audi A4 atau BMW Seri 3, margin keuntungan JLR bisa tergerus habis.
Faktanya, ini bukan pertama kalinya Trump menggunakan tarif sebagai senjata dagang. Pada 2018, ia pernah memberlakukan tarif 25% pada baja dan aluminium impor—kebijakan yang kemudian dibalas Uni Eropa dengan tarif balasan pada bourbon dan Harley-Davidson. Bedanya kali ini, skala dan cakupannya lebih luas, dengan AS tampaknya sengaja memancing reaksi untuk merundingkan ulang kesepakatan perdagangan.
Pertanyaannya sekarang: akankah produsen otomotif lain mengikuti langkah JLR? Jika ya, kita mungkin sedang menyaksikan awal dari transformasi besar-besaran dalam peta industri otomotif global. Satu hal yang pasti—di era di mana kebijakan satu orang bisa mengguncang pasar dunia, tak ada lagi yang namanya “bisnis seperti biasa”.