Telset.id – Di era di mana musik mengalir deras seperti air, dua platform ini berdiri di kutub yang berseberangan. Satu, raksasa bernilai miliaran dolar yang ingin menguasai setiap detik waktu mendengarkan Anda. Satunya lagi, pasar digital sederhana yang lebih mirip toko kaset indie zaman dulu, dengan misi tunggal: memastikan artis dibayar dengan adil. Inilah cerita tentang Spotify dan Bandcamp, dan apa yang pilihan mereka ungkapkan tentang masa depan industri musik.
Anda mungkin sudah sangat akrab dengan yang pertama. Spotify, dengan algoritma rekomendasinya yang canggih, playlist “Discover Weekly”, dan antarmuka yang memudahkan Anda tersesat dalam lautan lagu selama berjam-jam. Tapi pernahkah Anda bertanya-tanya, di balik kemudahan itu, ke mana uang dari langganan premium atau iklan itu mengalir? Bandcamp, di sisi lain, mungkin terasa seperti dunia yang berbeda. Tidak ada algoritma misterius yang mengatur apa yang Anda dengar. Yang ada adalah halaman artis, harga yang sering kali bisa Anda tentukan sendiri, dan tombol “beli” yang mencolok. Perbedaan ini bukan sekadar soal fitur, melainkan fondasi filosofis yang sama sekali berbeda tentang apa itu musik dan untuk siapa platform digital itu dibangun.
CEO dan salah satu pendiri Bandcamp, Ethan Diamond, pernah terdiam cukup lama ketika ditanya apakah perusahaannya adalah bisnis digital. “Ya, aku tidak yakin,” katanya. “Aku menganggap Bandcamp sebagai perusahaan musik pertama, karena siapa yang kami layani pertama dan terutama adalah artis.” Bandingkan dengan narasi Daniel Ek, CEO Spotify, yang dalam panggilan pendapatan kuartal pertamanya tahun 2020 berulang kali menyebut “strategi audio-pertama”. Kata “audio” sengaja dipilih, menggantikan “musik”, karena podcast telah menjadi pilar penting. Misi Spotify, menurut Ek, adalah “menangkap porsi waktu yang dihabiskan pendengar di tempat lain.” Musik hanyalah salah satu cara untuk mengisi waktu itu. Inilah inti perbedaannya: satu platform dibangun untuk melayani pencipta musik, yang lain dibangun untuk menguasai perhatian pendengar.
Ekonomi Skala vs. Ekonomi Dukungan Langsung
Spotify beroperasi dengan logika ekonomi skala yang masif. Untuk memberi nilai bagi investor dan mencapai profitabilitas yang sulit digapai, platform perlu memaksimalkan jumlah pengguna dan waktu yang mereka habiskan di aplikasi. Royalty yang dibayarkan ke artis, yang sering dikeluhkan sangat rendah, adalah hasil dari model ini. Perhitungan kasar menunjukkan, untuk mendapatkan penghasilan setara upah minimum AS (sekitar $15 per jam), seorang musisi solo membutuhkan hampir 658.000 stream per bulan di Spotify. Angka yang hampir mustahil bagi sebagian besar artis. Ek sendiri pernah berkomentar bahwa beberapa artis yang dulu sukses mungkin tidak akan bertahan di lanskap baru ini, di mana mereka “tidak bisa merekam musik sekali setiap tiga atau empat tahun dan berpikir itu akan cukup.” Pernyataan ini disambut gelombang kemarahan dari musisi di media sosial, yang merasa karya mereka direduksi menjadi sekadar “output” yang harus diproduksi terus-menerus.
Bandcamp mengambil jalan sebaliknya. Platform ini beroperasi dengan model berbagi pendapatan yang transparan: mereka mengambil 10%-15% dari penjualan digital, dan 10% dari penjualan barang fisik. Artis dan label bebas menetapkan harga mereka sendiri, bahkan memperbolehkan sistem “nama harga Anda sendiri”. Yang menarik, Diamond mengungkapkan bahwa sekitar setengah dari penjualan di Bandcamp adalah untuk barang fisik—vinyl, kaset, kaos, dan merchandise lainnya. “Aku tidak menganggap kami sebagai layanan streaming,” tegas Diamond. “Aku menganggap kami sebagai toko rekaman dan komunitas musik.” Bagi pengguna, membeli musik di Bandcamp bukan sekadar mendapatkan file digital, tetapi sebuah tindakan dukungan langsung yang disengaja. Ini adalah perbedaan mendasar: Spotify memonetisasi perhatian pengguna (melalui iklan atau langganan), sementara Bandcamp memfasilitasi transaksi langsung antara penggemar dan pencipta.
Baca Juga:
Misi yang Berbeda: Menyembuhkan vs. Menguasai
Filosofi di balik Bandcamp terasa lebih personal dan humanis. Diamond bercerita tentang inspirasi dari Prince, yang sebelum meninggal mengatakan kepada penulis biografinya, “Musik itu menyembuhkan. Tulis itu dulu.” Prinsip itulah yang ingin diwujudkan Bandcamp: sebuah sistem di mana kekuatan penyembuhan musik berada di tangan setiap orang yang memiliki bakat untuk menggunakannya, dengan memastikan kompensasi yang adil dan transparan. Bandcamp lahir pada 2007, di era ketika “kompetisi utama adalah pembajakan,” kata Diamond. Mereka ingin membuktikan bahwa orang masih mau membayar untuk musik jika diberi cara yang mudah dan langsung untuk mendukung artis favorit mereka.
Spotify, dengan ambisi “audio-pertama”-nya, memiliki cakrawala yang berbeda. Eksklusivitas podcast Joe Rogan dengan nilai kontrak yang disebut-sebut mencapai $100 juta lebih adalah contoh nyata. Ini bukan tentang menyembuhkan, tetapi tentang menguasai pasar audio apa pun bentuknya. Pandemi COVID-19 pun, dalam pandangan Ek, adalah peluang untuk mempercepat peralihan dari radio linear ke layanan on-demand seperti Spotify. Fokusnya adalah pada persaingan dan perebutan waktu. Perbedaan ini membuat kedua platform ini bagai berasal dari galaksi yang berbeda. Diamond bahkan menyebutkan bahwa dia merasa lebih dekat dengan Etsy—sebuah pasar untuk barang-barang buatan tangan dan kerajinan—daripada dengan platform musik streaming lainnya.
Lantas, di mana masa depan industri musik digital? Mungkin tidak ada jawaban tunggal. Dunia membutuhkan kedua model ini, tetapi dengan kesadaran akan konsekuensinya. Spotify menawarkan akses tak terbatas yang nyaman dan menjadi mesin penemuan yang powerful bagi banyak pendengar. Namun, ketergantungan pada algoritma dan model royalty mikro telah menuai kritik tajam, termasuk dari dalam industri sendiri. Sementara itu, Bandcamp telah menjadi tulang punggung bagi banyak musisi indie dan subkultur, tempat di mana komunitas dapat tumbuh dan artis dapat bertahan secara finansial dari basis penggemar yang loyal, meski mungkin tidak masif.
Bagi musisi dan pendengar yang mulai merasa jengah dengan dominasi algoritma dan ketidaktransparan, gerakan menuju model yang lebih pro-artis semakin mengemuka. Ini bukan lagi tentang memilih salah satu, tetapi tentang menyadari bahwa ekosistem musik digital bisa berwarna-warni. Mungkin masa depan bukanlah tentang satu pemenang yang menguasai semua, melainkan tentang koeksistensi berbagai model yang melayani kebutuhan dan nilai yang berbeda. Seperti kata Diamond, yang terpenting adalah memastikan bahwa sistem yang dibangun memungkinkan musik—dengan segala kekuatan penyembuhannya—tetap hidup dan berkembang di tangan para penciptanya. Di tengah percepatan teknologi yang sering kali terasa dingin, sentuhan manusiawi dari sebuah “toko rekaman digital” seperti Bandcamp justru terasa seperti oase yang diperlukan.

