Ponsel AI ByteDance-ZTE Laris Manis di China, Tapi Bisakah Bertahan di Pasar yang Dikuasai Raksasa?

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – Di pasar smartphone yang sering kali diwarnai oleh perlombaan spesifikasi hardware—berapa gigabyte RAM, resolusi kamera berapa megapiksel, atau kapasitas baterai sebesar apa—sebuah pendekatan yang berbeda tiba-tiba menyita perhatian. Bagaimana jika nilai jual utama sebuah ponsel bukan terletak pada komponen di dalamnya, tetapi pada kecerdasan buatan (AI) yang hidup di sistem operasinya? Itulah eksperimen berani yang dilakukan oleh ByteDance, raksasa teknologi di balik TikTok, melalui kolaborasinya dengan ZTE. Hasilnya? Ponsel prototipe Nubia M153 dengan asisten AI Doubao terintegrasi habis terjual pada hari pertama peluncuran, bahkan harganya melonjak hingga 43% di pasar sekunder. Namun, di balik antusiasme konsumen yang meluap ini, tersembunyi pertanyaan besar: apakah ini sekadar euforia sesaat, atau benar-benar awal dari tren baru?

Kesuksesan awal Nubia M153 menarik untuk dicermati karena ia menawarkan narasi yang tidak biasa. Ponsel ini dipasarkan bukan sebagai perangkat dengan chipset tercepat atau kamera terbaik, melainkan sebagai kendaraan untuk pengalaman AI yang mendalam. Asisten Doubao yang terintegrasi pada level sistem operasi dijanjikan mampu melakukan tugas-tugas kompleks seperti memesan restoran, mengedit foto secara cerdas, atau bahkan bercerita berdasarkan gambar, hanya dengan perintah suara. Ini adalah visi di mana ponsel bukan lagi sekadar alat, tetapi menjadi mitra yang proaktif. Bagi segmen konsumen China yang sangat tech-savvy dan penasaran dengan batas kemampuan AI, proposisi ini terasa segar dan menarik untuk dicoba, terlepas dari itu adalah perangkat dari Nubia—sebuah brand yang bukan termasuk pemain utama di pasar domestik.

Antara Kelangkaan yang Disengaja dan Lonjakan Harga Spekulatif

Faktor lain yang turut memicu demam adalah strategi ketersediaan terbatas. ZTE dan ByteDance merilis Nubia M153 sebagai “prototipe teknik” yang hanya tersedia melalui pemesanan online dengan jumlah yang tidak diungkap. Kelangkaan yang tampaknya disengaja ini menciptakan rasa urgensi dan eksklusivitas, sebuah taktik pemasaran klasik yang terbukti masih ampuh. Efeknya langsung terlihat: harga di pasar loak online seperti Xianyu langsung melambung dari harga normal 3.499 yuan (sekitar Rp 8,2 juta) menjadi hampir 5.000 yuan.

Namun, fenomena “laku keras” dalam konteks ini perlu dibaca dengan hati-hati. Kehabisan stok pada hari pertama untuk produk dengan ketersediaan sangat terbatas lebih merupakan indikator keberhasilan marketing dan strategi peluncuran, belum tentu cerminan dari permintaan massal yang berkelanjutan. Pertanyaan sebenarnya adalah: apakah ponsel ini akan tetap diminati jika diproduksi dan didistribusikan dalam skala besar, bersaing langsung dengan iPhone, Huawei, atau Xiaomi di rak-rak toko?

Tantangan Terbesar: Bisakah ByteDance Merangkul Raksasa Smartphone Lain?

Di sinilah analisis dari firma seperti Morgan Stanley dan IDC China memberikan perspektif yang lebih realitis. Tantangan terbesar ByteDance bukan pada membuat asisten AI yang canggih, tetapi pada integrasinya ke dalam ekosistem smartphone yang sudah mapan. Laporan Morgan Stanley menyoroti bahwa integrasi AI pada level sistem operasi justru bisa “melemahkan daya tawar produsen perangkat asli (OEM)”. Dengan kata lain, merek-merek besar seperti Apple, Huawei, dan Xiaomi yang memiliki sumber daya teknologi besar kemungkinan lebih memilih untuk mengembangkan asisten AI mereka sendiri (seperti Siri, Celia, atau Xiao AI) agar tetap memegang kendali penuh atas pengalaman pengguna dan data.

Guo Tianxiang dari IDC China bahkan memprediksi bahwa ByteDance akan “kesulitan membentuk kolaborasi mendalam dengan produsen smartphone besar,” dan kemungkinan hanya akan bisa bermitra dengan produsen kecil atau yang tengah berjuang di pasar—seperti ZTE Nubia. Jika prediksi ini benar, maka jalan ByteDance untuk menjadi pemain utama di hardware AI akan terbatas pada niche market, sulit untuk menantang dominasi pemain incumbent.

Masa Depan: Spesialisasi AI vs Integrasi Vertikal

Kolaborasi ByteDance-ZTE ini membuka dua skenario masa depan yang mungkin. Pertama, ini bisa menjadi cetak biru bagi perusahaan AI murni (seperti ByteDance atau bahkan OpenAI di masa depan) untuk masuk ke dunia hardware melalui kemitraan, menawarkan “otak” AI mereka kepada produsen yang kurang memiliki kemampuan di bidang tersebut. Kedua, ini justru akan mempercepat perlombaan di kubu rival. Kesuksesan awal Nubia M153 mungkin akan memacu Apple, Samsung, dan Xiaomi untuk semakin menggenjot dan memamerkan kemampuan asisten AI bawaan mereka, sehingga menutup celah pasar yang coba diisi ByteDance.

Pada akhirnya, kesuksesan hari pertama Nubia M153 adalah bukti bahwa ada selera pasar untuk AI yang lebih terintegrasi dan kontekstual. Namun, untuk bertransisi dari “prototipe yang laris” menjadi “produk mainstream yang mengubah pasar”, ByteDance dan ZTE harus membuktikan bahwa keunggulan AI-nya bukan hanya sekadar fitur demo yang menarik, tetapi benar-benar dapat diandalkan dalam kehidupan sehari-hari, didukung oleh ekosistem aplikasi yang kuat, dan yang paling penting—bisa dijual dalam skala besar tanpa kehilangan daya pikatnya. Mereka telah berhasil menyalakan api antusiasme. Tantangan selanjutnya adalah menjaga api itu tetap menyala dalam angin kencang persaingan industri smartphone.

TINGGALKAN KOMENTAR
Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI