Telset.id – Apa yang sebenarnya sedang dipikirkan, dipertanyakan, dan dikejar oleh ratusan juta orang Indonesia di dunia digital? Google, sebagai mesin pencari utama, memegang kaca pembesar yang unik untuk menjawabnya. Melalui acara “Year in Search: Jeda Tawa di Tengah Ramainya Tren”, Google Indonesia baru saja merilis potret pola pencarian selama 2025. Dan gambarnya jauh lebih menarik dari sekadar daftar kata kunci populer; ia mengungkap transformasi gaya hidup yang sedang bergerak cepat. Tahun ini, Google bahkan merasa perlu menambahkan dua kategori khusus yang mencuri perhatian: lari dan padel. Ini bukan lagi tentang pencarian biasa, melainkan tanda bahwa dua aktivitas ini telah berevolusi menjadi fenomena budaya yang dalam.
Padel, khususnya, disebut oleh Feliciana Wienathan, Communication Manager Google Indonesia, sebagai sebuah “fenomena nasional.” Yang menarik untuk diamati adalah kedalaman pencariannya. Masyarakat tidak lagi sekadar bertanya “apa itu padel,” tetapi telah melangkah jauh ke pencarian seperti teknik bermain, outfit yang tepat, dan lokasi lapangan. Ini mengindikasikan bahwa padel telah berhasil melakukan transisi dari olahraga eksklusif yang baru dikenal, menjadi bagian dari gaya hidup urban yang diadopsi secara serius. Ia telah menciptakan ekosistemnya sendiri—dari kebutuhan fashion hingga infrastruktur hiburan sosial. Ini adalah cerita tentang bagaimana sebuah olahraga impor tidak hanya diterima, tetapi juga dikultuskan.
Dari Jogging Santai ke PB & Elevasi: Lari yang Semakin Teknis
Sementara padel merajai aspek sosial-rekreasi, kategori lari justru mengungkap sisi lain dari gelombang hidup sehat. Pencarian netizen Indonesia menunjukkan pergeseran dari sekadar “cara lari yang benar” ke istilah-istilah teknis seperti “PB lari” (Personal Best) dan “elevasi”. PB adalah istilah sakral di kalangan pelari serius, yang menandai pencapaian dan perbaikan diri. Sementara “elevasi” berkaitan dengan rute lari dan tantangan medan.
Perubahan semantik dalam pencarian ini sangat signifikan. Ia menandakan bahwa bagi segmen masyarakat yang semakin besar, lari telah berubah dari aktivitas rekreasi atau ikut-ikutan menjadi sebuah hobi yang ditekuni dengan serius, terukur, dan kompetitif terhadap diri sendiri. Olahraga ini tidak lagi hanya tentang kesehatan fisik, tetapi juga tentang tujuan, data, dan komunitas. Mereka adalah para citizen runners yang mengarungi jalanan kota dengan aplikasi pelacak di pergelangan tangan, menganalisis data pasca-lari, dan berbagi pencapaian di media sosial. Pencarian di Google adalah jendela menuju mentalitas baru ini.
Kebangkitan Suara Timur & Hasrat Belajar yang Berubah
Di luar dunia olahraga, Year in Search 2025 menyoroti sebuah perkembangan budaya yang menggembirakan: naiknya perhatian terhadap budaya dan suara Indonesia Timur. Google mencatat apresiasi ini tidak hanya muncul, tetapi “semakin menembus arus utama.” Ini adalah indikator digital dari sebuah pergeseran kesadaran kolektif. Melalui musik, kuliner, tradisi, dan destinasi, identitas kultural dari Timur Indonesia sedang mendapatkan panggung nasional yang lebih besar, didorong oleh konten kreatif di platform digital. Kebanggaan kedaerahan tidak lagi tersekat, melainkan menjadi bagian dari mozaik identitas nasional yang semakin kaya dan dirayakan.
Sementara itu, naluri untuk belajar tetap kuat, namun dengan arah yang berubah. Minat bergeser ke keterampilan yang lebih praktis dan langsung aplikatif di era digital. Masyarakat aktif mencari cara menyebut istilah-istilah seperti QRIS atau Coretax, serta memahami alat-alat digital yang menjamur dalam keseharian. Ini mencerminkan sebuah usaha sadar untuk “menguasai dan memegang kendali” di dunia yang semakin digital. Mereka tidak ingin sekadar menjadi pengguna pasif, tetapi ingin memahami mekanisme di balik layanan yang mereka gunakan sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan finansial dan teknologi.
AI: Dari Boom Teknologi Menuju Bagian Gaya Hidup
Dan tentu saja, tidak ada analisis tren digital Indonesia 2025 yang lengkap tanpa menyentuh kecerdasan buatan (AI). Google menegaskan bahwa AI di Indonesia telah melampaui fase “boom” atau kehebohan sesaat. Ia kini telah “menyatu dengan gaya hidup.” Pernyataan ini didukung oleh data yang solid: Indonesia disebut sebagai salah satu negara dengan penggunaan AI tertinggi di Asia Pasifik. Fitur pembuatan gambar seperti nano banana di Gemini AI konon menghasilkan 18 juta gambar per hari di Indonesia.
Angka yang fantastis ini bukan sekadar statistik. Ia bercerita tentang bagaimana masyarakat biasa—bukan hanya developer atau tech enthusiast—dengan aktif bermain, bereksperimen, dan memanfaatkan AI untuk ekspresi kreatif, penyelesaian tugas, atau sekadar rasa ingin tahu. Pencarian tentang “cara menggunakan fitur AI” menguatkan narasi ini: AI telah menjadi semacam literacy baru yang dipelajari secara mandiri oleh banyak orang. Ia tidak lagi jauh dan abstrak, tetapi hadir dalam genggaman, menjawab rasa ingin tahu, dan membantu membuat konten. Ini adalah adopsi yang organik dan masif, yang mungkin menjadi fondasi untuk lompatan digital Indonesia di fase selanjutnya.
Pada akhirnya, Year in Search 2025 lebih dari sekadar daftar trending topic. Ia adalah narasi tentang sebuah masyarakat yang sedang aktif mendefinisikan ulang gaya hidupnya: lebih sadar kesehatan dan tekun menekuni hobi, lebih bangga akan keragaman budayanya, lebih melek dan ingin menguasai teknologi digital, dan secara aktif menjadikan AI sebagai bagian dari keseharian. Ini adalah potret dinamika yang optimis, di mana rasa ingin tahu tidak berhenti pada permukaan, tetapi mendorong pendalaman dan penguasaan.

