Bayangkan pekerjaan Anda hari ini adalah menari “Chicken Dance” berulang-ulang selama delapan jam, sementara lima kamera menempel di helm Anda merekam setiap gerakan. Besoknya, Anda mungkin diminta merangkak seperti gorila atau menyelesaikan puzzle balita. Ini bukan skenario film sci-fi absurd, melainkan kenyataan di laboratorium rahasia Tesla untuk melatih robot humanoid Optimus mereka.
Bocoran terbaru dari Business Insider mengungkap operasi intensif di markas teknik Tesla di Palo Alto, California, di mana puluhan pekerja bertindak sebagai “kelinci percobaan” di bawah mikroskop. Mereka menjadi dataset hidup—tubuh mereka sendiri adalah data mentah yang akan memberi “nyawa” pada mesin-mesin masa depan Elon Musk. Dalam industri AI yang sering digambarkan futuristik, ternyata masih bergantung pada tenaga manusia dalam skala masif.
Lalu, mengapa Tesla nekat menggunakan metode yang melelahkan ini? Dan benarkah Optimus siap menjadi “produk terbesar sepanjang masa” seperti klaim Musk, atau ini sekadar pertunjukan teatrikal untuk memikat investor? Mari kita selidiki lebih dalam realitas di balik ambisi robotika Tesla yang kontroversial ini.
Laboratorium Rahasia Tesla: Manusia Sebagai Dataset Berjalan
Di jantung upaya Tesla menciptakan robot humanoid sempurna, terdapat tim “pengumpul data” yang melakukan ratusan repetisi gerakan manusiawi setiap hari. Mereka mengenakan helm dengan lima kamera dan ransel seberat 18 kilogram yang menangkap setiap detail pergerakan. Dari mengangkat cangkir hingga mengepel lantai, dari merapikan meja hingga—yang lebih aneh—menari twerk, tidak ada gerakan yang terlalu sepele untuk tidak direkam.
“Anda seperti tikus laboratorium di bawah mikroskop,” ungkap mantan pengumpul data kepada Business Insider. Pekerjaan ini tidak hanya fisik tetapi juga psikologis—mereka harus mempertahankan gerakan yang “cukup manusiawi” atau menghadapi konsekuensi. Bayangkan: mengambil langkah, membersihkan meja, kembali ke pose reset, dan mengulanginya lagi. “Cuci ulang dan ulangi sampai waktu istirahat,” kata pekerja lain.
Dalam setiap shift delapan jam, mereka ditarget menghasilkan setidaknya empat jam rekaman yang bisa digunakan. Beberapa karyawan bahkan menghabiskan minggu-minggu awal mereka hanya dengan membersihkan meja sebelum akhirnya diperbolehkan beralih ke tugas lain. Ini mengingatkan kita pada pentingnya data dalam melatih AI—seperti proyek pengumpulan data biometrik Worldcoin yang juga menuai kontroversi.
Baca Juga:
Tekanan Deadline dan Ambisi Triliunan Dolar Musk
Di balik metode pelatihan yang melelahkan ini, terdapat tekanan waktu yang luar biasa. Musk telah menetapkan target internal yang ambisius: 5.000 unit robot Optimus harus siap pada akhir tahun ini. Dalam panggilan pendapatan kuartal ketiga baru-baru ini, CEO Tesla itu bahkan berani menyatakan bahwa Optimus “berpotensi menjadi produk terbesar sepanjang masa,” dengan proyeksi produksi akhir satu juta unit per tahun.
Ambisi ini didorong oleh proyeksi pasar robot humanoid yang suatu hari nanti bisa bernilai triliunan dolar—meskipun masih menjadi misteri siapa yang sebenarnya akan membeli mesin-masih-eksperimental ini. Perusahaan seperti Figure AI dan Agibot asal Shanghai juga mengklaim berada di ambang pengiriman ribuan unit, menandakan perlombaan industri yang semakin panas.
Namun, pertanyaannya tetap: apakah pasar siap menerima teknologi yang masih dalam tahap sangat awal ini? Atau ini hanya gelembung investasi lain dalam ekosistem teknologi yang seringkali lebih mengutamakan narasi futuristik daripada realitas fungsional?
Demonstrasi yang Memalukan dan Realitas Teleoperasi
Klaim Musk tentang kemampuan Optimus bertolak belakang dengan demonstrasi publik yang justru mempermalukan. Dalam video yang diambil oleh CEO Salesforce Mark Benioff September lalu, sebuah unit Optimus diminta mengambilkan Coca-Cola. Yang terjadi selanjutnya adalah rangkaian kegagalan yang menyedihkan: respons tertunda signifikan, kalimat terputus di tengah jalan, dan robot yang membeku tak responsif.
Begitu akhirnya mulai bergerak, gerakannya jelas kaku dan tidak terkoordinasi—jauh dari gambaran robot rumah tangga ideal yang dijanjikan. Kekurangan inilah yang mungkin mendorong Tesla mengumpulkan data gerakan manusia secara masif, berharap dapat mereplikasi terobosan yang dicapai model generatif AI setelah dilatih dengan data dalam jumlah luar biasa.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah pengakuan mantan pekerja tentang “pertunjukan teater” yang disiapkan untuk investor. “Ketika kami dalam mo-cap, kami mengendalikan bot agar terlihat lebih fluid,” ujar seorang mantan pekerja. Setiap kali Musk membawa investor untuk melihat robot-robot tersebut, mereka dioperasikan dari jarak jauh oleh manusia untuk menciptakan ilusi kelincahan. Praktik ini mengingatkan kita pada kasus penggunaan data untuk kepentingan tertentu yang kerap terjadi di industri teknologi.
Tugas Aneh dan Etika Pengumpulan Data Manusia
Beberapa tugas yang diberikan kepada pengumpul data Tesla begitu sederhana hingga seperti “mengajari bayi,” menurut seorang mantan pekerja. Dua lainnya mengaku diminta menyelesaikan teka-teki untuk bayi sungguhan, seperti memasukkan bentuk ke lubang yang benar. Namun, tidak semua tugas sesederhana itu—beberapa dihasilkan oleh AI itu sendiri, menghasilkan instruksi aneh seperti bertingkah seperti gorila, berpura-pura main golf, atau menari provokatif.
Dua pekerja bahkan mengaku merasa tidak nyaman setelah permintaan AI mengharuskan mereka merangkak dengan empat anggota badan atau melepas pakaian. Ini memunculkan pertanyaan etis mendalam tentang batasan dalam pengumpulan data pelatihan AI—sebuah isu yang juga relevan dengan pengembangan teknologi energi bersih yang membutuhkan pertimbangan etika serius.
Dalam industri yang didorong oleh data, di mana batas antara inovasi dan eksploitasi semakin kabur, perlindungan pekerja dan subjek data manusia menjadi semakin kritis. Ketika tubuh manusia menjadi dataset, di manakah garis antara kontribusi ilmiah dan perlakuan tidak etis?
Robot Optimus Tesla mungkin mewakili ambisi tertinggi umat manusia dalam otomatisasi, tetapi jalan menuju realisasinya ternyata masih sangat manusiawi—dengan segala kompleksitas, kelelahan, dan pertanyaan etika yang menyertainya. Sementara Musk berjanji pada masa depan di mana robot akan mengambil alih tugas rumah tangga kita, realitas saat ini justru menunjukkan betapa kita masih sangat bergantung pada kerja keras manusia untuk menciptakan ilusi kecerdasan mesin. Mungkin, sebelum robot bisa benar-benar memahami manusia, kita perlu lebih dulu mempertanyakan: sejauh mana kita rela mengorbankan kemanusiaan untuk mengejar otomatisasi?

