Telset.id – Bayangkan sebuah platform media sosial raksasa dengan 450 juta pengguna global tiba-tiba menghadapi ancaman evaluasi izin operasionalnya di Indonesia. Itulah situasi genting yang sedang dihadapi X, platform yang dulu kita kenal sebagai Twitter, setelah secara konsisten mengabaikan kewajiban pembayaran denda atas pelanggaran moderasi konten pornografi. Bagaimana nasib platform milik Elon Musk ini jika terus bersikap keras kepala?
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria secara tegas menyatakan bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam. Dalam pertemuan di Kantor Komdigi Jakarta pada Jumat (17/10), Nezar mengungkapkan bahwa sanksi terhadap X bisa meningkat dari sekadar teguran tertulis hingga evaluasi izin Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). “Ya sudah diatur di Permen, yaitu sanksinya bisa teguran tertulis sampai dengan, karena ada ketidakpatuhan, mungkin juga izin PSE-nya bisa dievaluasi kembali,” tegas Nezar dengan nada serius.
Situasi ini semakin rumit mengingat X tidak memiliki kantor perwakilan di Indonesia, membuat proses koordinasi dan penegakan aturan menjadi seperti mengejar bayangan. Nezar sendiri mengakui bahwa komunikasi dengan pihak X masih terus dibangun, namun tenggat waktu pembayaran denda masih menjadi tanda tanya besar. “Secepatnya, kita lihat minggu depan,” ujarnya singkat ketika ditanya tentang batas waktu yang diberikan.
Eskalasi Sanksi yang Terus Meningkat
Cerita tentang ketegangan antara X dan pemerintah Indonesia ini bukanlah drama satu babak. Sebelumnya, Komdigi telah mengirimkan surat teguran ketiga pada 8 Oktober 2025 melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital. Surat ini merupakan kelanjutan dari teguran sebelumnya yang juga diabaikan oleh pihak X.
Alexander Sabar, Dirjen Pengawasan Ruang Digital Komdigi, dalam keterangan resminya pada Senin (13/10) menjelaskan kronologi lengkap persoalan ini. “Sanksi denda administratif pertama kali dijatuhkan pada saat Surat Teguran Kedua diterbitkan pada 20 September 2025, namun hingga batas waktu yang ditentukan, pihak X belum melakukan pembayaran maupun memberikan tanggapan resmi,” papar Alex.
Yang menarik, meskipun X akhirnya melakukan take down terhadap konten pornografi yang menjadi sumber masalah dua hari setelah teguran kedua, kewajiban pembayaran denda tetap harus dipenuhi. Ini menunjukkan bahwa kepatuhan parsial tidak cukup dalam penegakan regulasi digital di Indonesia.
Baca Juga:
Denda yang Terus Membengkak
Nilai denda yang harus dibayar X bukanlah angka main-main. Melalui Surat Teguran Ketiga, nilai denda telah diperbarui menjadi Rp78.125.000. Angka ini merupakan akumulasi dari denda pada Surat Teguran Kedua dan Ketiga, menunjukkan bagaimana ketidakpatuhan justru membuat beban finansial semakin berat.
Alex menegaskan bahwa eskalasi sanksi ini dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selain itu, Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 522 Tahun 2024 tentang Tata Kelola Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN) juga menjadi dasar hukum yang kuat bagi tindakan tegas ini.
Persoalan ini bermula dari temuan konten bermuatan pornografi dalam hasil pengawasan ruang digital oleh Komdigi pada 12 September 2025. Meski X akhirnya menuruti permintaan take down, sikap dingin mereka terhadap kewajiban pembayaran denda menunjukkan mungkin ada persepsi berbeda tentang pentingnya mematuhi regulasi lokal.
Kasus X ini mengingatkan kita pada platform lain yang juga menghadapi masalah serius dengan konten terlarang. Seperti yang terjadi pada Visa yang memblokir pembayaran kartu kredit Pornhub karena masalah pornografi anak, atau YouTube yang didenda Rp 2,8 triliun karena melanggar privasi anak. Tampaknya, era toleransi nol terhadap konten ilegal di dunia digital benar-benar telah tiba.
Implikasi Jangka Panjang bagi Ekosistem Digital
Ancaman evaluasi izin PSE terhadap X bukanlah sekadar gertakan semata. Dalam ekosistem digital Indonesia, izin PSE merupakan prasyarat fundamental bagi platform asing untuk beroperasi secara legal. Evaluasi izin bisa berarti berbagai konsekuensi, mulai dari pembatasan fitur hingga yang paling ekstrem: pemblokiran total.
Pertanyaannya, apakah Indonesia berani mengambil langkah radikal terhadap platform sebesar X? Mengingat platform ini telah menjadi bagian dari kehidupan digital jutaan pengguna Indonesia, termasuk para jurnalis, aktivis, dan pelaku bisnis. Namun di sisi lain, kepatuhan terhadap hukum nasional adalah harga mati yang tidak bisa ditawar.
Kasus X ini sebenarnya menjadi ujian penting bagi kedaulatan digital Indonesia. Seperti yang pernah mengancam Facebook yang siap diblokir jika memuat konten negatif, pemerintah menunjukkan konsistensi dalam penegakan aturan tanpa memandang besar kecilnya platform.
Yang patut dicermati, ketiadaan kantor perwakilan X di Indonesia semakin mempersulit resolusi konflik ini. Nezar Patria secara tegas mendorong platform milik Elon Musk tersebut untuk segera membuka kantor perwakilan, bukan hanya untuk urusan moderasi konten, tetapi juga sebagai bentuk komitmen terhadap pasar Indonesia yang sangat potensial.
Dalam beberapa hari ke depan, semua mata akan tertuju pada bagaimana X merespons ultimatum terakhir ini. Apakah mereka akan membayar denda yang terus membengkak, atau memilih menghadapi risiko evaluasi izin PSE? Jawabannya mungkin akan menentukan masa depan platform tersebut di Indonesia, sekaligus menjadi preseden penting bagi hubungan antara platform global dan regulasi lokal.
Bagi pengguna setia X, situasi ini tentu mengkhawatirkan. Namun bagi pemerhati tata kelola digital, ini adalah momen penting yang menunjukkan bahwa tidak ada platform yang terlalu besar untuk diatur. Kepatuhan terhadap hukum nasional tetap menjadi prinsip utama, terlepas dari seberapa berpengaruhnya sebuah perusahaan teknologi global.