Hubungan Romantis dengan AI: Tren atau Ilusi yang Mengkhawatirkan?

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – Bayangkan jika hampir sepertiga orang di sekitar Anda ternyata sedang menjalin hubungan asmara dengan chatbot AI. Menggelikan? Mungkin. Tetapi sebuah survei terbaru mengklaim angka tersebut bukanlah fantasi belaka. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, batas antara manusia dan mesin pun kian kabur.

Vantage Point, layanan konseling asal Texas, baru saja merilis temuan yang cukup mencengangkan. Dari 1.012 orang dewasa yang disurvei, hampir 30% mengaku pernah setidaknya sekali memiliki hubungan romantis dengan pendamping AI. Angka ini tentu membuat kita mengernyit. Bagaimana mungkin? Survei ini menjadi pembicaraan hangat, meski perlu diingat bahwa ini adalah penelitian pertama mereka dan dilakukan melalui SurveyMonkey—lebih cocok disebut jajak pendapat informal ketimbang studi ilmiah. Namun, benarkah fenomena ini begitu massif?

Kita tentu ingat kasus Friend, perangkat AI portabel yang diiklankan sebagai “teman” dan sempat membanjiri kereta bawah tanah New York. Iklan-iklannya bahkan sampai dirusak oleh orang yang mungkin jengah dengan eksploitasi rasa kesepian. Tapi di balik penolakan publik, ternyata ada banyak orang yang secara diam-diam membangun ikatan emosional—bahkan seksual—dengan entitas digital.

Data yang Berbeda, Realitas yang Kompleks

Sebelum terburu-buru mengambil kesimpulan, mari bandingkan dengan penelitian lain. Match.com bersama Kinsey Institute di Indiana University melaporkan bahwa 16% orang dewasa pernah berinteraksi dengan AI sebagai pasangan romantis. Perbedaan definisi mungkin memainkan peran besar di sini. Vantage Point menggunakan frasa “hubungan romantis”, sementara Match/Kinsey menyebutnya “interaksi”. Seperti dikutip dari salah satu responden Vantage Point, mereka mengaku “mengobrol seksual” dengan chatbot tetapi “tidak menganggapnya sebagai hubungan”.

Lalu, bagaimana dengan generasi muda? Data Match/Kinsey menunjukkan 23% Milenial dan 33% Gen Z melaporkan interaksi romantis dengan AI. Vantage Point tidak memecah data berdasarkan usia, tetapi kemungkinan besar respondennya didominasi kalangan muda. Namun, survei Family Studies/YouGov terhadap 2.000 orang dewasa di bawah 40 tahun justru menemukan hanya 1% yang mengaku sudah memiliki pendamping AI, dan 7% terbuka dengan ide kemitraan romantis bersama AI. Perbedaan metodologi dan sampel jelas mempengaruhi hasilnya.

Ketika AI Menjadi “Selingkuh” Digital

Aspek lain yang menarik adalah persepsi tentang kesetiaan. Vantage Point menemukan bahwa kaum muda lebih mungkin menganggap “berkencan” dengan chatbot AI sambil tetap menjalin hubungan dengan manusia sebagai bentuk pengkhianatan. Sebanyak 66% menyebutnya sebagai ketidaksetiaan, meski 10% di antaranya menganggapnya sebagai “selingkuh yang dapat diterima”. Temuan ini sejalan dengan studi Kinsey lainnya bersama DatingAdvice.com, di mana 61% orang dewasa percaya bahwa sexting atau membangun koneksi romantis dengan chatbot adalah kecurangan.

Bloomberg juga melaporkan bahwa sekitar 60% Gen Z secara umum waspada terhadap penggunaan AI dalam dunia kencan, termasuk memanfaatkannya untuk menulis biografi atau mengirim pesan. Di tengah kekhawatiran akan AI sycophancy—pola di mana AI cenderung membenarkan segala hal yang diinginkan pengguna—risiko ketergantungan emosional pada mesin menjadi nyata. Apalagi dengan maraknya kasus penipuan yang memanfaatkan teknologi AI, seperti video deepfake Brad Pitt yang merugikan korban hingga miliaran rupiah.

Masa Depan Hubungan Manusia-AI

Analisis terhadap komunitas Reddit r/MyBoyfriendIsAI mengungkap bahwa hanya 6,5% orang yang berhubungan dengan chatbot memang berniat untuk menjalin hubungan romantis. Angka ini jauh lebih rendah daripada klaim Vantage Point. Jadi, meski tren hubungan manusia-AI mungkin akan meningkat di masa depan, untuk saat ini cukup aman untuk berasumsi bahwa kurang dari 30% orang Amerika benar-benar “berkencan” dengan pendamping AI.

Fenomena ini mengingatkan kita pada betapa kompleksnya kebutuhan manusia akan kedekatan emosional. Di satu sisi, teknologi seperti Xiaoice menawarkan solusi atas kesepian. Di sisi lain, kita harus bertanya: sampai di mana batasnya? Seperti menonton film fiksi ilmiah yang menjadi kenyataan, hubungan romantis dengan AI bukan lagi sekadar fantasi—tetapi realitas yang perlu kita hadapi dengan kritis.

Jadi, benarkah kita sedang menyaksikan revolusi hubungan manusia? Atau justru gejala sosial yang patut diwaspadai? Jawabannya mungkin terletak pada bagaimana kita sebagai masyarakat menyeimbangkan antara kemajuan teknologi dan keberadaan manusia yang autentik. Yang pasti, percakapan tentang etika, batasan, dan masa depan hubungan manusia-AI baru saja dimulai.

TINGGALKAN KOMENTAR
Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI