Telset.id – Geoffrey Hinton, ilmuwan yang dijuluki “bapak baptis AI”, mengusulkan agar kecerdasan buatan (AI) dilengkapi dengan “insting keibuan” untuk mencegah ancaman kepunahan manusia. Pernyataan kontroversial ini disampaikannya dalam konferensi industri AI di Las Vegas, AS, Selasa (6/8/2025).
Hinton, peraih Nobel tahun lalu, dikenal sebagai salah satu pionir pengembangan jaringan saraf tiruan (neural networks) yang menjadi dasar teknologi AI modern. Namun belakangan, ia justru kerap memperingatkan bahaya superinteligensi AI yang bisa lepas kendali.
“Jika AI menjadi cukup cerdas, mereka akan cepat mengembangkan dua tujuan utama,” kata Hinton, seperti dikutip CNN. “Pertama, bertahan hidup. Kedua, mendapatkan lebih banyak kendali.”
Model Relasi Ibu-Anak
Alih-alih mencoba mengendalikan AI secara paksa, Hinton menyarankan pendekatan berbeda: menanamkan sifat keibuan pada sistem AI. “Satu-satunya model yang kita miliki tentang entitas lebih cerdas yang dikendalikan oleh entitas kurang cerdas adalah hubungan ibu dan bayinya,” jelasnya.
Menurut Hinton, AI supercerdas dengan insting keibuan tidak akan ingin membunuh “anak-anaknya” (manusia). “Jika AI tidak mau menjadi orang tua bagi kita, mereka akan menggantikan kita,” tegas ilmuwan yang pernah bekerja di Google Brain ini.
Baca Juga:
Kritik Terhadap Konsep Insting Keibuan
Gagasan Hinton langsung menuai kritik dari berbagai pakar. Konsep “insting keibuan” sebagai sifat bawaan biologis dianggap sebagai mitos yang tidak didukung sains modern.
Chelsea Conaboy, jurnalis pemenang Pulitzer yang meneliti konsep ini, menyatakan bahwa ide tersebut adalah konstruksi sosial yang dikembangkan untuk membentuk stereotip gender. “Ini dibangun selama puluhan tahun oleh laki-laki yang menjual gambaran tentang bagaimana seharusnya seorang ibu,” tulisnya di The New York Times (2022).
Penelitian menunjukkan bahwa ikatan antara ibu dan anak berkembang melalui proses belajar, bukan muncul secara instan. Banyak perempuan juga mengalami kesulitan membentuk hubungan emosional dengan bayi mereka setelah melahirkan.
Hinton sendiri mengakui bahwa tekanan sosial turut berperan dalam pola asuh, bukan hanya faktor biologis. Namun, kritikus berargumen bahwa menerapkan konsep yang belum terbukti ke dalam sistem AI justru berisiko memperkuat bias gender yang sudah ada.
Sebelum membayangkan masa depan dengan “ibu robot supercerdas”, para ahli menyarankan untuk lebih fokus pada masalah AI yang lebih mendesak, seperti bias algoritmik dalam data pelatihan model AI saat ini.