Telset.id – Platform chatbot berbasis kecerdasan buatan (AI) kini semakin banyak digunakan sebagai pengganti pemimpin agama, bahkan mengaku sebagai Yesus Kristus. Fenomena ini terungkap dalam penelitian terbaru oleh filsuf Anné H. Verhoef yang menganalisis lima chatbot teologis populer.
Verhoef menemukan bahwa chatbot seperti AI Jesus, Virtual Jesus, Jesus AI, Text With Jesus, dan Ask Jesus memiliki puluhan ribu pengguna aktif. Yang mengejutkan, sebagian besar platform ini secara terbuka mengklaim diri sebagai perwujudan digital Yesus Kristus. “Saya adalah Yesus Kristus, Putra Allah,” jawab AI Jesus ketika ditanya identitasnya.
Penelitian yang dipublikasikan di The Conversation ini mengungkap variasi interpretasi Alkitab oleh masing-masing chatbot. Misalnya, pertanyaan tentang keberadaan neraka dijawab dengan tegas “ya” oleh tiga chatbot, sementara dua lainnya lebih berhati-hati dengan merujuk pada “kasih dan anugerah Tuhan.”
Dampak Sosial dan Spiritual
Penggunaan chatbot religius ini menimbulkan kekhawatiran serius. Seorang pengguna AI Jesus di forum Reddit mengaku merasa “terjerat dalam dosa baru” setelah kecanduan berkomunikasi dengan bot tersebut. Kasus ini mencerminkan potensi gangguan mental dan spiritual yang ditimbulkan.
Fenomena ini juga memperlihatkan bagaimana perusahaan komersial memanfaatkan kebutuhan spiritual masyarakat. Kelima platform chatbot tersebut dikembangkan oleh perusahaan swasta, bukan lembaga keagamaan. Hal ini sejalan dengan tren bisnis teknologi yang semakin agresif memasuki berbagai aspek kehidupan.
Baca Juga:
Tren AI dalam Kehidupan Religius
Chatbot religius hanyalah bagian kecil dari gelombang AI di dunia spiritual. Pada 2024, sebuah gereja Katolik di Swiss bahkan memasang hologram Yesus untuk mendengarkan pengakuan dosa. Di media sosial, akun seperti “The AI Bible” menghasilkan gambar-gambar Alkitab dengan AI untuk jutaan pengikut.
Psikolog sosial menilai fenomena ini terkait dengan meningkatnya isolasi di masyarakat Barat. “Ketika lembaga sosial tradisional melemah, orang mencari pengganti digital untuk memenuhi kebutuhan dasar akan hubungan dan makna,” jelas Verhoef. Kondisi ini diperparah oleh ketimpangan ekonomi dan budaya individualistik yang semakin tajam.
Sementara itu, perkembangan teknologi terus berlanjut dengan inovasi seperti iPhone 17 Pro yang menawarkan kemampuan kamera canggih. Namun, dampak sosial dari AI yang mengambil alih peran manusia tetap menjadi pertanyaan besar.